BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kajian tentang
“ The Islamic Civilization” atau peradaban Islam tidak bisa lepas dari
peradaban Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam. Oleh karena itu,
terkadang peradaban ini disebut dengan peradaban Arab, karena pertama kali
peradaban ini muncul di kalangan bangsa Arab, sekalipun kemudian meluas dan
dikembangkan oleh generasi Islam selain bangsa Arab, baik melalui transfer
ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun bahasa dan tulisannya. Selain itu,
peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian tokoh terbesarnya seperti;
Hunain ibn Ishaq, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Qarrah dan Ali Abbas Al-Majusi
mereka adalah orang-orang Arab non-muslim.
Sedangkan
penyebutannya sebagai peradaban Islam, karena ia sebagai penggagasnya dan
selamanya akan menjadi kekuatan yang menggerakkannya dengan dengan
ajaran-ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai peradaban Islam ini
dikarenakan sebagian tokohnya yang terbesar adalah orang Islam non-Arab seperti;
Ibnu Sina, Al-Biruni, Abu Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.[1]
Terlepas dari
perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah peradaban besar adalah
Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam perkembangan peradaban, ilmu
pengetahuan mendapatkan perhatian yang serius dalam Islam. Masa sebelum
kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan
argumentasi penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan
meminimalisir kebodohan. Predikat “jahiliyah” bukan berarti bangsa Arab sebelum
Islam datang tidak memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya.
Beberapa abad sebelum Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah
Nil, peradaban lembah Daljah dan Furat,
peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban Bahrain, peradaban
Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.[2]
Ketika Islam
datang sebagai agama dengan membawa benih-benih peradaban yang besar dan secara
terang-terangan menghimbau untuk mempelajari ilmu dan menjadikannya sebagai
jalan utama kehidupan, maka para pecinta ilmu mulai mempelajari warisan
peradaban yang telah ada sebelumnya. Dalam lembaran sejarah peradaban
Islam, kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama
lima abad, dimulai dari abad kedelapan sampai abad ketiga belas masehi. Hal tersebut sangat wajar
terjadi, karena dalam Islam, akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat
tinggi dan posisi penting dalam Islam.
Substansi
Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam juga menjadi bukti bahwa Islam
sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw.[3] Kata
Iqra’, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, terambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun
tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang harus dibaca, karena
Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi
Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lanjut, Shihab
menyatakan bahwa kata iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun
diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.[4]
Makna yang terkandung dalam kitab suci ini sangat dipahami dan diaktualisasikan
oleh umat Islam pada masa dahulu sehingga banyak karya-karya besar yang
dihasilkan oleh mereka.
Kemajuan yang
dicapai Islam selama periode klasik[5]
telah membuat berbagai bangsa tertarik untuk melihat dan mempelajari Islam.
Kekaguman atas Islam, misalnya dikemukakan oleh Abraham S. Halkin dalam bukunya
The Judeo-Islamic Ages and Ideas of The Jewish People.[6]
Halkin menyatakan bahwa orang Arab adalah bangsa yang sadar dan berperilaku
baik. Sekalipun mereka para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak
memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina.
Kekayaan budaya Syiria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab. Para
khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh lain menyantuni para sarjana yang melakukan
tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu pengetahuan non-Islam banyak
ditemukan dalam bahasa Arab.
Namun dalam
perkembanganya, perjalanan Islam terklasifikasi dalam fase-fase fluktuatif;
dari fase penciptaan pondasi, fase kejayaan, fase desentralisasi, fase
kemunduran, fase kemajuan material hingga fase kebangkitan, di mana pada tiap
fase memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan fase peradaban
lainnya.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana perkembangan
ilmu zaman islam?
2.
Apa saja fase
perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan?
3.
Bagaimana sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam?
4.
Siapa saja ilmuwan
muslim dan penemuannya?
5.
Apa saja kontribusi
ilmuwan muslim di bidang sains?
1.3 Tujuan penulisan
1.
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu zaman islam.
2.
Untuk
mengetahui perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan.
3.
Untuk
mengetahui sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam.
4.
Untuk mengetahui
siapa saja para ilmuwan muslim.
5.
Untuk
mengetahui kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains.
1.4 Manfaat
Manfaat
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok sebagai bahan
diskusi dalam mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan. Serta menambah
pengetahuan tentang Prestasi Ilmuwan Muslim yang diharapkan sangat bermanfaat
bagi banyak orang yang membaca makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Ilmu Zaman Islam
Sebelum diuraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam islam, ada
baiknya diuraikan sedikit tentang pandangan islam terhadap ilmu. Hal ini
penting untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu
disepanjang sejarah kehidupan umat manusia, mulai dari zaman klasik sampai saat
ini.
Sejak awal kelahiran Pengghargaan yang begitu besar kepada ilmu.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. Ketika diutus oleh Allah
sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh
menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian
Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab
jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya
ilmu tumbuh besamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasullah Saw.
Menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah
”membaca”. Jibril memerintahkan Muhammad Dengan Bacalah Dengan Menyebut Nama
Tuhanmu Yang Menciptakan.[7]
Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai
Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.[8]
Wahyu pertama itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa “membaca” dengan dilandasi
bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu naninya dapat bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Dalam wahyu pertama, Allah swt. Sudah menegaskan bahwasanya ilmu
itu bersumber darinya. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang semula
tidak diketahuinya. Sejumlah ayat yang lain juga menegskan hal yang serupa.[9]
Ini berarti bahwa setiap yang berasal dari Allah swt, apakah itu yang tertuang
dalam Al-Qur’an atau sunnah, adalah ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Di sinilah posisi kaidah deduktif ilmu dalam Islam berlaku.
Dalam wahyu pertama juga Allah telah memerintahkan manusia untuk
mencari ilmu lewat membaca, seraya meminta perhatian bahwa Allah swt, telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Modus serupa juga terdapat dalam
ayat-ayat yang lain, dimana Allah swt, mengajak manusia merenungkan dan
memikirkan fenomena alam, psikologi manusia dan sejarah.[10]
Selanjutnya ada juga ayat lain yang mengatakan , Katakanlah: Apakah
sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.[11]
Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan
wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu. “carilah ilmu
sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian,Alquran dan Hadis kemudian dijadikan
sebagai sumber ilmu yang di kembangkan oleh umat islam dalam spectrum yang
seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok islam ini memainkan peran ganda
dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu . peran itu adalah : pertama,
prinsip-prinsip semua ilmu dipandan kaum Muslimin terdapat dalam Alquran. Dan
sejuh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat
esoteris terhadap kitab suci ini , yang
memugkinkan tidak hanya pengungkapkan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi
juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan
paragdigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu ;
pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan
Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan
Alquran dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu islam.
Singkatnya, Alquran dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong
aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat islam.[12]
Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw.
Menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal,
طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَة
Ilmu menempati posisi yang sangat
penting dalam Islam. Penekanan kepada ilmu dalam ajaran Islam sangat jelas terlihat
dalam Al-qur’an, sunnah Nabi saw dan ajaran semua tokoh Islam dari dulu sampai
sekarang. Diantar yang paling utama adalah Al-qur’an surah al-‘Alaq: ayat 1-5
yang membrikan tekanan pada pembacaan sebagai wahana penting dalam usaha
keilmuwan, dan mengukuhkan kedudukan Allah swt. Sebagai sumber tertinggi ilmu
pengetahuan manusia.
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak dikehetahuinya.”
Dalam menafsirkan kelima ayat
diatas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi manusia. Ibn Katsir menulis:
“Dalam ayat-ayat ini terdapat
peringatan bahwasannya manusia diciptakan dari segumpal darah. Dan di antara
bentuk anugerah Allah Ta’ala adalah mengajarkan manusia apa yang semula tidak
diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia terletak pada ilmu. Dan,
inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih istimewa daripada
malaikat.”[14]
Penekanan terhadap pentingnya ilmu
dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki,
mengajarkan dan mengamalkan ilmu (‘ulama). Al-Qur’an menegaskan bahwa sangat
berbeda sekali antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui,
“Katakanlah, adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menenrima pelajaran” (az-Zumar:
9).
Orang-orang yang beilmu dan
menyibukkan dirinya dalam majelis-majelis keilmuan, tentunya disamping juga
mereka beriman, dalam penilaian Allah memiliki derajat yang sangat terhormat,
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
“Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadalah : 11)
Semua
pencari ilmu, tegas Nabi saw., akan dimudahkan jalannya ke surge. Para malaikat
akan menghormatinya dengan meletakkan sayap-sayapnya. Seluruh makhluk yang ada
di bumi sampai ikan-ikan yang ada di laut terdalam sekalipun, akan memohonkan
ampunan. Itu disebabkan kemuliaan mereka yang jika dibandingkan dengan
orang-orang ahli ibadah yang kurang ilmunya ibarat bulan purnama ditengah
gugusan bintang-bintang. Mereka semua adalah para pewaris nabi. Di tangan
merekalah ilmu para nabi, yang lebih berharga daripada dinar dan emas, diembankan.
(مَن سَلَكَ طَرِيقًا َيلْتَمِسُ
فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم
“Barang
siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surge.” (HR Muslim)
Hadits di atas memberi gambaran
bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat. Karena dengan ilmu orang dapat
beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan ilmu pula seorang muslim
dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut ilmu adalah orang
yang sedang menuju surga Allah.
Mencari ilmu itu wajib, tidak
mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas usia, baik anak-anak
maupun orang tua. Kewajiban menuntut ilmu dapat dilaksanakan di sekolah,
pesantren, majlis ta’lim, pengajian anak-anak, belajar sendiri, penelitian atau
diskusi yang diselenggrakan oleh para remaja mesjid.
Ilmu merupakan cahaya kehidupan
bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan di dunia terasa lebih indah, yang
susah akan terasa mudah, yang kasar akan terasa lebih halus. Dalam menjalankan
ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab beribadah tanpa didasarkan
ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu dengan mengamalkan ilmu
di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan dan dapat
memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.
2.2 Fase Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam
Harun Nasution
menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa dikelompokkan ke
dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa
pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M
sampai sekarang.[15]
2.2.1
Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui
Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di
Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan
Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini
dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang
kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah
(dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam
periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber
menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang
sangat menentukan adanya perubahan sosial.[16]
Dalam konteks ini,
ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial
kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi Muhammad dengan
nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini.
Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari
gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau
gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah
diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah,
kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia
internasional.
Kehadiran Nabi membawa
perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang
tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang
lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa
Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu
langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Muhammad
mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama
Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak
inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan
semangat tawhid. Muhammad mulai
mendapatkan perlawanan dan tantangan
keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang
terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan
dibesarkan di tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi teologi,
reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu
Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik
dan tradisi kaum Qurasiy.[17]
Komunitas tauhid yang
dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian disebut
dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim
awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris
menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap
tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma
sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai
representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.
Selain itu, hijrah Nabi
dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga
memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Periode
Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan pengikutnya sehingga
Nabi melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk menyusun kekuatan
baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran dakwah Islam. Di
Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan ekonomi untuk menyatakan
perang ekonomi kepada pedagang Quraiys.[18]
Secara sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan
kekerabatan dengan kaum Quraisy Mekkah.[19]
Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan perpindahan Nabi dan umat Islam
untuk menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy. Hijrah
berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka
lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang
ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya.
Ekspansi yang dilakukan
oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya -Khulafa’ Al-Rasyidin,
Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah- secara garis besar memiliki peranan
penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu
Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan
luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah
yang dikuasai Islam.[20]
Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan
kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat
di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[21]
Pada era klasik ini
metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat.
Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak
kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan
muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan
secara mengagumkan.[22]
Peran para khalifah tidak
bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode ini, terutama pada
masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan
Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari
Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan
penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang
didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga
akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan
yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika,
geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.[23]
Maka kemudian muncul
beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti;
Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astrolabe
(alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya;
Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang
ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn
Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata
yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang
mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda
yang bersangkutan.[24]
Dalam bidang Kimia, Jabir
ibn Hayyan (w. 813 M)[25]
dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah
pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga
penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi.[26]
Di zaman ini pula lahir
ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam
Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka
Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i
dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj
dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu
Miskawih dalam filsafat.[27]
Ringkasnya, periode ini
adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh pada tercapainya
peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini, menurut
Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa. Memang
sebagaimana dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara
600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai
sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol,
Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa.[28]
2.2.2
Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan,
yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari intelektual umat
Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan
akhirat.[29] Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah
meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara
formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai
lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah
baru di Istanbul di abad ke-16.[30]
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian
juga antara Arab dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian
Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara
dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia
Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia
mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan
Arab.
Di samping itu, pengaruh
tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di dunia Islam.
Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah
tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu
pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk
baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.[31]
Pada periode pertengahan
ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang
dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan
Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam
sejarah peradaban Islam.[32]
Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya,
pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I
dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian
disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek,
sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan
sebagainya.
Di India, bahasa Urdu
juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang
sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis
besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18).
Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali
dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih
ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[33]
Tahun 1700-1800 M disebut
sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi
kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga
terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu
pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh
suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis,
sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu
Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar,
ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di
tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting.
Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban
yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[34]
2.2.3
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam
mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat
tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di
tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah.[35]
Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan
bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai
imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan
militer.
Setelah umat Islam
menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya dekonstruksi oleh para
pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika politik
kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi.
Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting
paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan
ajaran-ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih
segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur
Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari
sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan),
revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan
bahkan muncul juga sekularisme yang
kontroversial.
Pada periode ini,
muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam
dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami
tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan
kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab,
Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan
dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh
pembaharuan Islam yang sangat popular.
Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab,
dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi,
Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud,
dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad
Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh
pembaharuan yang cukup popular, dapat
disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis
besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam empat
model gerakan sebagai berikut:
a) Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh
dan lebih berkembang di Hijaz sebagai
jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir
serupa tumbuh di India yang dipelopori
oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India[36].
Menurut Harun Nasution[37], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris
yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia
dipandang sebagai
seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan
pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh
yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai
reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya
ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya
bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam
dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw,
sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran
islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits.
Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu,
pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap
dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais[38],
gerakan Wahabiyah
sering dianggap terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran
zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran
reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah
menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah
menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah
pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang
merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu
Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak
berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap
berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi
adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad
yang dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya
tempat secara wajar bagi intelektualisme. Akan tetapi
harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang
diserukan gerakan ini.[39] (Amien Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).
b) Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan
oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla
(1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang
di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai
dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat
dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini
menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih
hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya
kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa
diwujudkan dalam
pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya
disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam
majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu.
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut
: 1) Kembali
kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu
dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan
ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran
menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah).
Hukum alam tidak bertentangan
dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya
berdasarkan wahyu adalah
dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang
mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang
telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam
harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan
bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.[40]
c) Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua
yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan
berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori
oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan
Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan
dengan ide-ide dasar yang disampaikan
oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran karena
tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam
pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat
ini yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami
kemajuan jika bukan
hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk
mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Jalan yang harus ditempuh adalah
memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di
Barat.[41]
d)
Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat
politik islam bekas
wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani).
Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk
(1881-1938). Mustafa Kemal,
sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum
Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya
perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan
sangat diperlukan dalam kehidupan manusia.
Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya
berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari
kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan
ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik,
dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari
sekularisasi. Dengan
pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki,
adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki.
Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat,
khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan
yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama
orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan
diganti oleh hukum Barat (Swiss).
Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum
baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil
dari hukum-hukum Barat.[42]
2.3 Sketsa Histrosis Pembidangan Ilmu dalam Islam
Sejak periode klasik, bisa dikatakan telah ada pembidangan ilmu yang pada
umumnya terbagi kepada ilmu-ilmu agama
dan non-agama.[43] Sebutan
untuk ilmu agama beragam; al-‘ulum al-diniyyah, al-‘ulum al-naqliyyah,
al-‘ulum al-Syar’iyyah, al-‘ulum al-Islamiyyah, dan ‘ulum al-‘Arab.
Untuk ilmu non-agama biasa disebut dengan al-‘ulum al-dunyawiyyah, al-‘ulum
al-‘Aqliyyah, al-‘ulum al-dakhilah, ‘ulum al-‘Ajam dan ‘ulum al-Awail. Ilmu
seperti tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, dan tasawuf adalah kelompok ilmu-ilmu
agama. Sedangkan bahasa Arab, sejarah, filsafat, kedokteran, astronomi,
matematika, kimia, fisika, kosmografi termasuk kelompok ilmu non-agama.
Imam Syafi’i, salah satu pendiri Madzhab Fikih, juga melakukan
pengelompokan ilmu dari sisi legal knowledgenya. Menurutnya, ilmu ada
dua; pertama, ‘ilm ‘ammah (ilmu yang diterima secara umum) dan
kedua ‘ilm khasshah (ilmu yang menjadi wilayah orang-orang tertentu). Ilmu
‘Ammah mempunyai nash yang tegas dalam al-Qur’an dan Hadis
Mutawatir di mana tidak terjadi perbedaan periwayatan serta kewajibannya. Ilmu
yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah kewajiban shalat lima waktu, puasa
Ramadlan, melaksanakan haji bagi yang mmapu, membayar zakat, haramnya zina,
membunuh, mencuri, minum khamr. Semua tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan muslim. Sedangkan yang selain itu, dikategorikan ke dalam ‘ilm
khasshah.[44]
Pembidangan ilmu versi Syafi’i ini mengantarkan kepada wilayah kesadaran
bersama bahwa untuk kelompok pertama tidak terdapat ruang perbedaan pendapat,
namun untuk kelompok kedua sangat terbuka ruang perbedaan pendapat yang
seluas-luasnya. A. Qadri Azizy menafsirkan pendapat Syafi’i bahwa yang tidak
boleh terjadi perbedaan pendapat dari kelompok pertama dalam pandangan Syafi’i
hanyalah garis besar dari beberapa hal, sedangkan uraian detailnya juga terbuka
ruang yang lebar untuk terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini
bisa terjadi karena perbedaan analisis atau kesimpulan penelitiannya.[45]
Filosof muslim periode klasik, Al-Farabi (w.339 H) mengelompokkan ilmu
menjadi lima bagian, yaitu:[46]
a. Ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahwu, sharf dan lain-lain.
b. Ilmu logika yang mencakup pengertian, manfaat, silogisme dan sebagainya.
c. Ilmu propadetis (al-ta’lim) yang mencakup ilmu hitung, geometri,
optika, astronomi, astrologi, musik dan sebagainya.
d. Ilmu fisika dan metafisika.
e. Ilmu sosial, ilmu hukum dan ilmu kalam.
Ibnu Buthlan (w. 450 H), seorang ahli kedokteran yang mengelompokkan ulama
yang wafat sekitar pertengahan abad kesebelas Masehi ke dalam tiga kelompok
berdasarkan cabang ilmu yang mereka tekuni; 1) Ilmu-ilmu Keagamaan, 2)
Ilmu-ilmu Klasik, dan 3) Ilmu-ilmu Sastra.[47]
George Makdisi melukiskan keharmonisan ketiga pembidangan ilmu di atas sebagai
piramida terbalik, atau dengan segi tiga sama kaki yang terbalik, di sebelah
sudut kanan atas adalah ilmu-ilmu keagamaan, di sebelah kirinya ilmu-ilmu awail
seperti filsafat dan di bawahnya ilmu-ilmu sastra yang menopang ilmu-ilmu di
atasnya.[48]
Ibnu Khaldun (w.808 H) dalam bukunya, membuat dua pembagian besar, yaitu
ilmu yang diperoleh melalui pemikiran (thabi’i) dan ilmu yang diperoleh
melalui tradisi (naqli).[49]
Pertama disebut ilmu filsafat atau akal dan mencakup logika, fisika,
metafisika, ilmu hitung, geometri, musik dan astronomi. Kedua disebut ilmu naqli
yang mencakup tafsir, hadis, hukum, ilmu kalam, tasawuf dan ilmu bahasa.
Al-Ghazali (w. 1111 M) yang dipuncak ketokohannya lebih intens dalam
bidang tasawuf, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syari’at dan non-syari’at.[50]
Cukup menarik, ternyata tidak saja ilmu-ilmu seperti kedokteran dan ilmu hitung
yang penguasaannya dihukumi fardlu kifayah, bahkan ilmu-ilmu syari’at,
seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir, rijal al-Hadis, ushul Fiqih dan Fiqh,
oleh Al-Ghazali juga dihukumi fardlu kifayah. Sedangkan ilmu yang fardlu
‘ain hanya terbatas pada penguasaan ilmu mengenai kewajiban-kewajiban dasar
yang dalam penerapannya amat ditentukan oleh waktu, situasi dan kondisi
tertentu dari setiap individu.
Klasifikasi ilmu seperti di atas muncul secara wajar, dalam pandangan Ibnu
Khaldun, atas fenomena pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat
dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di
daerah-daerah yang dikuasai Islam.[51]
Sementara secara epistemologi Islam, klasifikasi seperti itu tidak ada. Namun,
perlu digaris bawahi bahwa pengklasifikasian ilmu tersebut tidak berpengaruh
negatif terhadap gairah intelektual di kalangan muslim klasik. Memang secara
kasuistik ada saja pertentangan, akan tetapi bukan sebagai pandangan umum (public
image), seperti dijelaskan oleh Nurcholis Madjid. Ia menyatakan,
“sekeras-kerasnya percekcokan intelektual di masa klasik, tidaklah hal itu
membawa kepada sikap parokialistik dan sikap anti ilmu...”[52]
Pada abad 13 Masehi, pemisahan secara tegas terjadi, di mana madrasah tidak
lagi memasukkan ilmu-ilmu awail. Akibat tidak dimasukkannya ilmu-ilmu awail
ke dalam kurikulum madrasah, penyebaran ilmu-ilmu ini harus bergantung
sepenuhnya pada usaha-usaha belajar perorangan.[53]
Hal ini kemudian disinyalir sebagai pemicu sikap antipati dan kecaman terhadap
ilmu-ilmu awail terutama filsafat yang telah dicurigai oleh para teolog
di abad kesebelas Masehi.[54]
Lambat laun, terbentuklah
kesadaran baru yang sebenarnya amat merugikan umat Islam, yakni apa yang
disebut oleh Anees sebagai “dikotomi konseptual” yang menurutnya dalam
batas-batas tertentu sebagai akibat yang wajar dari ajaran sufi. Munculnya
istilah ilmu terpuji (mahmud) dan ilmu tercela (madzmum)
berakibat pada penekanan pengetahuan keagamaan dan dikorbankannya cabang-cabang
pengetahuan lainnya. Menurutnya, hal ini menimbulkan kontradiksi yang besar dan
membekas ke dalam kultur umat Islam belakangan yang tidak dapat dihilangkan.[55]
2.4 Ilmuwan Muslim dan Penemuannya
Sains dan seni dalam Islam
merupakan kesatu paduan antara nilai kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan
dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan dan wujud dari
puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua fenomena
di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu
yang khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari
sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah
doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya untuk mewujudkan
kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek kebudayaan.
Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid,
sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model
alat pengembangan sains, dan sebagainya, kesemuanya itu sebagai perwujudan dari
bentuk-bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah.[56]
Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara
keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta,
yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir
tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam
Islam bersifat secular atau terpisah dari pertanggung jawaban (para
penciptanya) terhadap Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “Wa
Fauqo Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Aliim” (QS. Yusuf: 76).
Dalam sebuah tulisannya
Oleg Grabor[57]
menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan
karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya masyarakat dunia lainnya yang
lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti halnya juga
Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena
semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak
semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud
dari hasil dialog antara idealitas dan sistem keyakinan si pencipta (kreator)
nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun
demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama
sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam
hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar
doktrin. Karena doktrin-doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan
bernuansa pada sesuatu yang lebih universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara
pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu para sarjana muslim sebagai
kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur dari luar dengan begitu
antusias, untuk kemudian menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu
sendiri.
2.5 Kontribusi Ilmuwan
Muslim di Bidang Sains
Konstribusi ilmuwan muslim
dalam bidang sains, khususnya ilmu alam (natural science; ilmu kauniyah)
amatlah besar, sehingga usaha menutupinya, memperkecil perannya, mengaburkan
sejarahnya tidak sepenuhnya berhasil. CIPSI (Center for Islamic Philosophical
Studies an Information) sebuah lembaga penelitian yang dipimpin Mulyadhi Karta
negara telah menginvertaris setidaknya ditemukan tidak kurang 756 ilmuwan
Muslim termuka yang memiliki konstribusi dalam perkembangan sains dan pemikiran
filsafat. Daftar ini baru tahap awal, dan tidak termasuk di dalamnya ribuan
ulama dalam disiplin ilmu-ilmu syar’iyyah.
Saat ini, sangat
banyak rujukan berupa buku, jurnal ilmiah atau situs internet, yang bisa kita
gunakan untuk mengetahui informasi ini. Bahkan ada beberapa lembaga yang khusus
didirikan untuk melakukan inventarisasi kontribusi ilmuwan muslim dalam
peradaban dunia. Namun sayangnya sejarah kegemilangan ilmuwan muslim ini
amatlah langka kita temui dalam buku-buku sains di lingkungan sekolah dan
akademik. Sejarah sains biasanya disebutkan dimulai sejak zaman Yunani Kuno
kira-kira 550 SM pada masa Phytagoras, kemudian meredup pada zaman Hellenistik
sekitar 300 SM yang dipenuhi mitos dan tahayul, kemudian bangkit kembali pada
masa Renaissance sekitar abad 14-17 M hingga saat ini. Dengan demikian sejarah
sains “hilang” selama lebih dari 1500 tahun lamanya dari buku-buku pelajaran
dan buku teks sains.[58]
Sementara itu ada
diantara kaum Muslim sendiri memandang usaha untuk mengungkap sejarah sains dan
penemuan ilmuwan Muslim sebagai usaha yang bersifat apologetik dan hanya
nostalgia semata. Namun pandangan sinis seperti ini sangat tidak benar, sebab
menemukan akar sejarah adalah penting bagi peradaban manapun di dunia ini,
terlebih bagi peradaban yang ingin bangkit dari keterpurukan. Banyak pelajar, mahasiswa
atau bahkan guru dan dosen Muslim yang mungkin tak kenal sama sekali, bahwa
perkembangan teknologi kamera tak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika
eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu Ibn Al Haytham. Ia adalah seorang pakar
optik dan pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optik, al- Manadir
(book of optics), khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snellius dalam
bentuk yang lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga
dipengaruhi oleh Al Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya
sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16
sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei, menggabungkan teori Al Haytham
dengan temuan mereka. Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih
terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton, juga telah
diungkap oleh Al Haytham abad ke- 11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14. Al
Haytham dikenal juga sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera
Obscura atau “pinhole camera”. Kata “kamera” sendiri, konon berasal dari kata
“qamara“, yang bermaksud “yang diterangi”. Kamera Al Haytham memang berbentuk
bilik gelap yang diterangi berkas cahaya dari lubang di salah satu sisinya.
Dalam alat optik, ilmuwan Inggris, Roger Bacon (1292) menyederhanakan bentuk
hasil kerja Al Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk membantu penglihatan,
dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di Cina dan Eropa.[59]
Dalam bidang
Fisika-Astronomi, Ibnu Qatir, ilmuwan muslim yang mempelajari gerak melingkar
planet Merkurius mengelilingi matahari. Karya dan persamaan Matematikanya
sangat mempengaruhi Nicolaus Copernicus yang pernah mempelajari karya-karyanya.
Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya keseluruh Spanyol
pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan kompas yang dibuat
oleh para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat menemukan benua
Amerika. Ilmuwan lain, Taqiyyuddin (m. 966) seorang astronom telah berhasil
membuat jam mekanik di Istanbul Turki. Sementara Zainuddin Abdurrahman ibn
Muhammad ibn al-Muhallabi al-Miqati, adalah ahli astronomi masjid (muwaqqit –
penetap waktu) Mesir, dan penemu jam matahari. Ahmad bin Majid pada tahun 9 H
atau 15 Masehi, seorang ilmuwan yang membuat kompas berdasarkan pada kitabnya
berjudul Al-Fawaid. Ilmuwan Muslim lain, Abdurrahman Al-Khazini, saintis
kelahiran Bizantium atau Yunani adalah seorang penemu jam air sebagai alat
pengukur waktu. Para sejarawan sains telah menempatkan al-Khazini dalam posisi
yang sangat terhormat. Ia merupakan saintis Muslim serba bisa yang menguasai
astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika dan filsafat. Sederet buah pikir
yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. Al-Khazani juga seorang ilmuwan
yang telah mencetuskan beragam teori penting dalam sains. Ia hidup di masa
Dinasti Seljuk Turki. Melalui karyanya, Kitab Mizan al-Hikmah, yang ditulis
pada tahun 1121-1122 M, ia menjelaskan perbedaan antara gaya, massa, dan berat,
serta menunjukkan bahwa berat udara berkurang menurut ketinggian. Salah satu
ilmuwan Barat yang banyak terpengaruh adalah Gregory Choniades, astronom Yunani
yang meninggal pada abad ke-13.
Nama lain yang sangat
terkenal adalah Abu Rayian al-Biruni dalam Tahdad Hikayah Al-Makan. Ia adalah
penemu persamaan sinus dan menyusun dan menyusun sebuan ensiklopedi Astronomi
Al-Qanan Al-Mas’adiy, di dalamnya ia memperkenalkan istilah-istilah ilmu
Astronomi (falak) seperti zenith, ufuk, nadir, memperbaiki temuan Ptolemeus,
dia juga mendiskusikan tentang hipotesis gerak bumi. Ia menuliskan bahwa bumi
itu bulat dan mencatat “daya tarik segala sesuatu menuju pusat bumi”, dan mengatakan
bahwa data astronomis dapat dijelaskan juga dengan menganggap bahwa bumi
berubah setiap hari pada porosnya dan setiap tahun sekitar
matahari.
Abdurrahman Al-Jazari, ahli mekanik
(ahli mesin) yang hidup tahun 1.100 M, membuat mesin penggilingan, jam air,
pompa hidrolik dan mesin-mesin otomatis yang menggunakan air sebagai
penggeraknya, Al-Jazari sebenarnya telah mengenalkan ilmu automatisasi.
Al-Fazari, seorang astronom Muslim juga disebut sebagai yang pertama kali
menyusun astrolobe. Al- Fargani atau al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu
astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan
Johannes Hispalensis. Muhammad Targai Ulugh-Begh (1393-1449), seorang pangeran
Tartar yang merupakan cucu dari Timur Lenk, diberi kekuasaan sebagai raja muda
di Turkestan, berhasil mendirikan observatorium yang tidak ada tandingannya
dari segi kecanggihan dan ukurannya. Observatorium ini adalah yang terbaik dan
paling akurat pada masanya, sehingga menjadikan kota Samarkand sebagai pusat
astronomi terkemuka.[60]
Ketika itu sudah terbit Katalog dan
tabel-tabel bintang berjudul Zijd-I Djadid Sultani yang memuat 992 posisi dan
orbit bintang. Tabel ini masih dianggap akurat sampai sekarang, terutama tabel
gerakan tahunan dari 5 bintang terang yaitu Zuhal (Saturnus), Mustary
(Jupiter), Mirikh (Mars), Juhal (Venus), dan Attorid (Merkurius). Kitab ini
sudah mengkoreksi pendapat Ptolomeus atas magnitude bintang-bintang. Banyak
kesalahan perhitungan Ptolomeus. Hasil koreksi perhitungan terhadap waktu bahwa
satu tahun adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit dan 15 detik, suatu nilai yang
cukup akurat. Ilmuwan lain lagi bernama Al-Battani atau Abu Abdullah atau
Albategnius (m. 929). Ia mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolomeus,
orbit matahari dan planet tertentu. Ia membuktikan kemungkinan gerhana matahari
tahunan, mendisain catalog bintang, merancang jam matahari dan alat ukur mural
quadrant. Karyanya De scientia stellarum, dipakai sebagai rujukan oleh Kepler,
Copernicus, Regiomantanus, dan Peubach. Copernicus mengungkapkan hutang budinya
terhadap al-Battani.
Dalam bidang pengobatan dan
kedokteran, peradaban Islam mencatatkan sejarah yang gemilang, hal ini
disebabkan karena pengobatan sangat erat kaitannya dengan agama (Nasr 1976) .
Berbagai bidang dalam ilmu pengobatan dan kedokteran dipelajari, seperti ilmu
obat-obatan, ilmu bedah, ophtamology, internal medicine, hygiene dan kesehatan
masyarakat, anatomi dan fisiology, bahkan dalam Islam terdapat disiplin ilmu
yang khas yang disebut dengan “Tib an-Nabawy” atau “pengobatan cara Nabi”.
Sebagai contoh, misalnya karya monumental Ibn Sina al-Qanun fi at-Tib yang
merupakan buku teks bagi bagi pendidikan kedokteran di Eropa selama
beratus-ratus tahun sebelum mereka mengalami kebangkitan sains. Dalam bidang
ilmu bedah ada tokoh ilmu bedah Abu‟l Qasim al-Zahrawi dengan karya
ilmu bedahnya Kitab al-ta’rif (The book of concession), ia juga menciptakan
berbagai alat bedah yang masih digunakan para dokter bedah hingga saat ini. Dua
ahli kedokteran ar-Razi (865-925) atau Rhazes dan Ibn Sina (980-1037) adalah pelopor
dalam bidang penyakit menular. Ar-Razi telah mempelopori penemuan ciri penyakit
menular dan memberikan penanganan klinis pertama terhadap penyakit cacar, dan
Ibn Sina adalah salah satu pelopor yang menemukan penyebaran penyakit melalui
air. Bagaimanapun
juga, tidak mungkin mengungkap seluruh kontribusi ilmuwan Muslim dalam ruang
yang begitu terbatas dalam makalah ini, namun sekurangnya gambaran yang
diberikan di atas, dan referensi yang bisa ditelusuri lebih lanjut bisa
menambah pengetahuan kita tentang sejarah sains di dunia Islam.
Prestasi dan kontribusi para
ilmuwan Muslim ini perlu dikenalkan di sekolah-sekolah. Bukan untuk mengecilkan
peran ilmuwan lain dari agama dan keyakinan lain. Tapi untuk mengungkap
kebenaran sejarah sains, bahwa perkembangan sejarah sains tidak meloncat begitu
saja dari zaman Yunani ke Barat modern. Ada peran luar biasa dari peradaban
Islam di situ yang tidak mungkin dan terlalu besar untuk diabaikan.
Tanpa kehadiran para ilmuwan dan
cendekiawan Muslim yang telah mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan
peradaban Barat saat ini tidak mungkin terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya
yang menjadi penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa saat
ini. Secara jujur, hal ini diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat sendiri,
yakni Emmanuel Deutscheu asal Jerman, Ia mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan
peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai
kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern.
Karena itu, sewajarnyalah kami senantiasa
mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya
Granada.”(Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang
jatuh ke tangan orang-orang Eropa). Hal senada diungkapkan oleh Montgomery
Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa
peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa
dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Bahkan yang menarik sekaligus
mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat,
juga diakui oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Obama. Hal itu
terungkap saat dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Beliau menyatakan: Peradaban
berhutang besar pada Islam. Islamlah - di tempat-tempat seperti Universitas
Al-Azhar - yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan
bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.[61]
Ilmuwan Muslim telah banyak
berjasa dalam pengembangan SAINS, khususnya ilmu kimia. Setelah menerjemahkan
dan mempelajari tulisan-tulisan tentang alkimia, baik dari Yunani maupun dari
Mesir, ahli kimia Muslim menyadari bahwa alkimia yang dilakukan oleh
orang-orang Yunani dan Mesir pada zaman purba itu bersifat spekulatif bercampur
mistik. Oleh karena itu para ahli kimia Muslim menentangnya dan mereka melakukan
eksperimen yang kemudian menghasilkan zat-zat kimia baru yang dikenal antara
lain sebagai: asam, basa, alkohol, dan garam.
Istilah alkali untuk basa berasal
dari kata Arab “al-kali” yang berarti abu tumbuhan, dan natrium hidroksida
adalah basa penting yang telah dibuat oleh ilmuwan Muslim. Eksperimen yang
mereka lakukan meliputi antara lain
destilasi, sublimasi, kristalisasi, oksidasi, dan presipitasi. Mereka
juga telah membuat beberapa senyawa dalam jumlah besar, baik untuk keperluan
ilmiah maupun pengobatan. Senyawa mineral yang telah disintesis antara lain
besi sulfat, merkuri sulfida, merkuri oksida, tembaga sulfat, tembaga sulfida,
natrium bikarbonat, dan kalium sulfide.
Para ahli kimia Muslim juga telah
mengenal cara memperoleh tembaga murni, yaitu dengan jalan mengalirkan larutan
tembaga sulfat pada potongan-potongan besi. Ini adalah suatu penemuan dalam
bidang elektrokimia. Demikian pula penemuan tentang berkaratnya logam biasa
bila kena udara yang lembab adalah suatu penemuan yang penting pada masa itu.
Selain dalam ilmu kimia, mereka juga memberikan sumbangan dalam bidang
teknologi kimia. Mereka menyempurnakan pembuatan gelas dan memberikan
warna-warna dengan menggunakan oksida-oksida logam.
Pembuatan baja untuk pedang yang
dikenal di seluruh dunia dilakukan oleh para pekerja Muslim di kota Damaskus
dan di Spanyol. Demikian pula mereka menyempurnakan teknologi pembuatan kertas
pada abad ke-9 M.
Kertas pada awalnya dibuat oleh
orang-orang Cina dengan menggunakan bahan sutera dengan proses yang rumit.
Ilmuwan Muslim membuat kertas dari kapas karena kayu sangat jarang terdapat di
wilayah Timur Tengah. Mereka telah mampu mengolah kapas dengan bahan-bahan
kimia melalui proses kimia dalam jumlah besar, sehingga dalam abad pertengahan
telah dapat dibuat jutaan buku. Penemuan pembuatan kertas dengan cara ini telah
membuka cakrawala baru dalam peradaban manusia. Teknologi pembuatan kertas ini
kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para ilmuwan di Eropa.
Meskipun penemuan salpeter atau
kalium nitrat dilakukan oleh orang Cina, namun baru pada akhir pemerintahan
Dinasti Thang, kira-kira tahun 906, mereka mengembangkannya hingga menjadi
bahan peledak untuk keperluan senjata. Pada tahun 870, orang Arab telah
melakukan penambangan salpeter. Para ahli kimia Muslim kemudian membuat bahan
peledak dari saltpeter dengan menambahkan belerang, karbon, dan bahan kimia
lainnya. Pada abad ke-10 M, mereka menemukan nitrogliserin yang juga merupakan
bahan peledak. Hasil penemuan mereka ini diperkenalkan kepada dunia Barat dan
pada abad ke-13 M, Roger Bacon, seorang ahli kimia Eropa, berhasil membuat dan
mengembangkan pembuatan bahan peledak ini.
Penggunaan proses destilasi oleh
para ahli kimia Muslim untuk memurnikan suatu zat merupakan revolusi dalam ilmu
kimia. Mereka telah mampu memurnikan dan memperoleh berbagai macam zat kimia
dalam keadaan murni. Dengan proses destilasi terhadap hasil fermentasi gula dan
pati, mereka telah dapat membuat dan memurnikan alcohol yang dalam Bahasa Arab
disebut al-quhul. Zat kimia yang diperoleh antara lain asam cuka, minyak lemon,
minyak mawar, asam sulfat, dan aldehid.
Dengan demikian, dalam
periode Islamlah para ilmuwan Muslim telah mempelopori perkembangan ilmu kimia
dan teknologi kimia. Di antara mereka yang berjasa ialah Jabir Ibnu Hayyan,
Al-Kindi, dan Ar-Razi.
BAB III
PENUTUP
3.3 Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban.
Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius sebagaimana
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Pemaknaan dan
pemahaman terhadap kedua sumber itu yang menyebabkan perbedaan generasi umat
Islam dari awal hingga sekarang. Interptreasi itu pulalah yang menyebabkan
gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islam mengalami fluktuasi.
Secara garis besar, perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam
dibagi menjadi tiga fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan
temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya. 2) Periode Pertengahan
(1250-1800 M), gairah intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak
ada lagi buah karya atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim.
Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun. 3) Periode Modern (1800 M –
Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya
utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa model
gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam.
Secara umum, ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah,
Modernisme, Westernisme dan Sekularisme.
3.2 Saran
Keterbatasan
informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab
adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis
khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi,
Mohammad Athiyah. 1974. Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, terjemahan Bustani A.
Gani dan Johar Bahry dengan judul “Dasar-Dasar Pendidikan Islam”. Jakarta:
Bulan Bintang.
Al-Baihaqi,
Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. 1994. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra. Mekkah:
Dar Al-Baz.
Al-Baihaqi,
Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. Syu’ab Al-Iman. Maktabah Syamilah 2.
Al-Faruqi,
Ismail Raj’i. 1982. Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Al-Ghazali.
t.t. Ihya’ ‘Ulum Al-Din. t.tp: Dar Al-Ihya’ al-Kutub Al-‘Arabiyah.
Ali, Yunasril.
1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Khudary,
Muhammad ibn ‘Afifi. 2004. Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursalin.
Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Sirjany,
Raghib. 2009. Madza Qaddama Al-Muslimun
li Al-‘Alam: Ishamat Al-Muslimin fi Al-Hadlorat Al-Insaniyyah. Kairo:
Muassasah Iqra’.
Al-Syafi’i,
Muhammad ibn Idris. t.t. Al-Risalat. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Anees, Munawar
Ahmad. 1991. Menghidupkan Kembali Ilmu, Al-Hikmah 3. Bandung: Yayasan
Muthahari.
Arifin,
Syamsul et, al,. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta:
SipPress.
Azizy, A.
Qadri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama Islam RI.
Bakri,Syamsul.
2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Donohue, John
J. 1995. Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan.
Jakarta: Raja Grafindo Press.
Garaudi,
Roder. 1983. Promisses De L-Islam, terjemahan H.M. Rasjidi, dengan judul
Janji-Janji Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Gaudah,
Muhammad Gharib. 2012. 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.
Halkin,
Abraham S. 1956. The Judeo-Islamic Ages & Ideas of the Jewish People.
New York: The Modern Library.
Khaldun, Abdur
Rahman Ibn. t.t. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Kotoob
Al-Ilmiyyah.
Khaleel,
Shwaki Abu. 1991. Islam on the Trial. Beirut: Dar Al-Fikr.
Madjid, Nurcholis.
September 1992. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Makalah Seminar
Nasional tentang Islam dan Ilmu Pengetahuan di IAIN STS Jambi.
Makdisi,
George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and
the West. Edinburgh: Edinburgh Unibersity Press.
Miller,
Rolland E. 2003. “Christian-Muslim Relations; A Study Program of The Lutheran
World Federation 1992-2002” dalam Dialogue and Beyond: Christian and Muslims
Together on The Way. Switzerland: The Lutheran World Federation.
Nasution, Harun.
1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution,
Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
Nasution,
Harun. 1992. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasution,
Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Sayili. 1994. Sebab-Sebab
Kemunduran Sains dalam Islam, dalam Majalah Al-Hikmah 13.
Schroeeder,
Ralph. 1992. Max Weber and The Sociology of Culture. London: Sage.
Shihab, M.
Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
Sulaiman,
Umar. 2012. Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai
Transenden-Humanis di Ruang Publik. Yogyakarta: Freshbooks.
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Supriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Turner, Bryan
S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir. Yogyakarta:
Suluh Press.
Ushaibi’at,
Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi ibn Khalifat ibn. 1965. Yunus Ibn
Abi ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Atibba’, Ed. Nizar Ridla. Beirut: Dar
Maktabah Al-Hayah.
[1] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan
Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 2012), hal. 7-8.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2013), hal. 569-570.
[5] Secara garis besar, fase sejarah Islam dibagi
menjadi tiga; a) Periode Klasik yang dimulai sejak tahun 650-1250 M dan merupakan periode kemajuan Islam dalam berbagai bidang
kehidupan dan ilmu pengetahuan, b) Periode pertengahan dimulai sejak 1250 –
1800 M, dengan semakin meningkatnya disintegrasi tidak hanya dalam bidang
politik, tetapi juga dalam paham keagamaan dan sektarian, Fase Tiga Kerajaan
Besar (kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal
di India) dimulai sejak tahun 1500 – 1700 M., c) Periode Modern yang dimulai
sejak 1800 M – sekarang. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspek (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 56-88. Lihat pula: Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 22.
[6] Abraham S. Halkin, The Judeo-Islamic Ages
& Ideas of the Jewish People (New York: The Modern Library, 1956), hal.
218-219.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
2001), cet.12, hlm.433.
[12] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Kalimah, 2001), cet. 3, hlm. 13
[13] Sunan Ibn
Majah kitab al-muqaddimah bab fadl al-‘ulama wa al-hatsts ‘ala talab al-ilm
no. 224 (Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Beirut:
Dar al-Fikr, 1995, jilid 1, hlm. 81) Syaikh Al-Albani menilainya Shahih dalam
kitab Shahih wa Da’if al-jami’ al-shagir no. 7360 (al-Maktabah
al-Syamilah).
[15] Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung:
Mizan, 1994), hal. 112.
[19] Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi
Sekuler, terjemahan Mudhofir (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hal. 54.
[20] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn
Khaldun (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah, t.t.), hal. 344-345.
[36] Amien Rais
dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan :
Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo
Press, 1995), hal. x.
[37] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 25.
[42] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam
Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hal. 306.
[44] Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Al-Risalat
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal 357-360.
[45] A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu
Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen
Agama Islam RI, 2003), hal. 16.
[47] Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi
ibn Khalifat ibn Yunus Ibn Abi ‘Ushaibi’at, ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat
al-Atibba’, Ed. Nizar Ridla (Beirut: Dar Maktabah Al-Hayah, 1965), Juz 1,
hal 327.
[48] George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh
Unibersity Press, 1981), hal. 75.
[52] Nurcholis Madjid, Islam, Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, Makalah Seminar Nasional tentang Islam dan Ilmu Pengetahuan
di IAIN STS Jambi tanggal 18-19 September 1992, hal. 1.
[54] Persentuhan Islam dengan Filsafat secara
sistematis dimulai ketika terjadi gerakan penerjemahan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab dalam tiga periode. Pertama, dimulai pada masa khalifah
Al-Manshur (733-774 M) sampai penghujung masa khalifah Harun Al-Rasyid (786 M).
Kedua, di masa Al-Makmun (813 M). Ketiga, di abad kesepuluh Masehi. Lihat,
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 8-10.
[55] Munawar Ahmad Anees, Menghidupkan Kembali
Ilmu, Al-Hikmah 3 (Bandung: Yayasan Muthahari, 1991), hal. 77.
[56] Seyyed Hossain
Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1997), 11.
37.
[60] Masood,
Tokoh-tokoh Muslim: Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009), 166.
[61] Asrofi, Rizal,
dan Abdurrahman, Sumbangsih Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Sains dan
Teknologi Barat, Makalah, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar