Jumat, 31 Maret 2017

makalah ilmuan muslim

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang
Kajian tentang “ The Islamic Civilization” atau peradaban Islam tidak bisa lepas dari peradaban Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam. Oleh karena itu, terkadang peradaban ini disebut dengan peradaban Arab, karena pertama kali peradaban ini muncul di kalangan bangsa Arab, sekalipun kemudian meluas dan dikembangkan oleh generasi Islam selain bangsa Arab, baik melalui transfer ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun bahasa dan tulisannya. Selain itu, peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian tokoh terbesarnya seperti; Hunain ibn Ishaq, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Qarrah dan Ali Abbas Al-Majusi mereka adalah orang-orang Arab non-muslim.
Sedangkan penyebutannya sebagai peradaban Islam, karena ia sebagai penggagasnya dan selamanya akan menjadi kekuatan yang menggerakkannya dengan dengan ajaran-ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai peradaban Islam ini dikarenakan sebagian tokohnya yang terbesar adalah orang Islam non-Arab seperti; Ibnu Sina, Al-Biruni, Abu Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.[1]
Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah peradaban besar adalah Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang serius dalam Islam. Masa sebelum kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan argumentasi penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan meminimalisir kebodohan. Predikat “jahiliyah” bukan berarti bangsa Arab sebelum Islam datang tidak memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya. Beberapa abad sebelum Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, peradaban lembah Daljah dan Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban Bahrain, peradaban Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.[2]
Ketika Islam datang sebagai agama dengan membawa benih-benih peradaban yang besar dan secara terang-terangan menghimbau untuk mempelajari ilmu dan menjadikannya sebagai jalan utama kehidupan, maka para pecinta ilmu mulai mempelajari warisan peradaban yang telah ada sebelumnya. Dalam lembaran sejarah peradaban Islam, kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad kedelapan sampai abad ketiga belas masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam, akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan posisi penting dalam Islam.
Substansi Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam juga menjadi bukti bahwa Islam sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw.[3] Kata Iqra’, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab,  terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lanjut, Shihab menyatakan bahwa kata iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.[4] Makna yang terkandung dalam kitab suci ini sangat dipahami dan diaktualisasikan oleh umat Islam pada masa dahulu sehingga banyak karya-karya besar yang dihasilkan oleh mereka.
Kemajuan yang dicapai Islam selama periode klasik[5] telah membuat berbagai bangsa tertarik untuk melihat dan mempelajari Islam. Kekaguman atas Islam, misalnya dikemukakan oleh Abraham S. Halkin dalam bukunya The Judeo-Islamic Ages and Ideas of The Jewish People.[6] Halkin menyatakan bahwa orang Arab adalah bangsa yang sadar dan berperilaku baik. Sekalipun mereka para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya Syiria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu pengetahuan non-Islam banyak ditemukan dalam bahasa Arab.
Namun dalam perkembanganya, perjalanan Islam terklasifikasi dalam fase-fase fluktuatif; dari fase penciptaan pondasi, fase kejayaan, fase desentralisasi, fase kemunduran, fase kemajuan material hingga fase kebangkitan, di mana pada tiap fase memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan fase peradaban lainnya.

1.2    Rumusan masalah
1.      Bagaimana perkembangan ilmu zaman islam?
2.      Apa saja fase perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan?
3.      Bagaimana sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam?
4.      Siapa saja ilmuwan muslim dan penemuannya?
5.      Apa saja kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains?

1.3    Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui perkembangan ilmu zaman islam.
2.      Untuk mengetahui perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan.
3.      Untuk mengetahui sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam.
4.      Untuk mengetahui siapa saja para ilmuwan muslim.
5.      Untuk mengetahui kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains.

1.4    Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan. Serta menambah pengetahuan tentang Prestasi Ilmuwan Muslim yang diharapkan sangat bermanfaat bagi banyak orang yang membaca makalah ini.




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Perkembangan Ilmu Zaman Islam
Sebelum diuraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam islam, ada baiknya diuraikan sedikit tentang pandangan islam terhadap ilmu. Hal ini penting untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah kehidupan umat manusia, mulai dari zaman klasik sampai saat ini.
Sejak awal kelahiran Pengghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. Ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh besamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasullah Saw. Menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah ”membaca”. Jibril memerintahkan Muhammad Dengan Bacalah Dengan Menyebut Nama Tuhanmu Yang Menciptakan.[7] Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.[8] Wahyu pertama itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa “membaca” dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu naninya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Dalam wahyu pertama, Allah swt. Sudah menegaskan bahwasanya ilmu itu bersumber darinya. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Sejumlah ayat yang lain juga menegskan hal yang serupa.[9] Ini berarti bahwa setiap yang berasal dari Allah swt, apakah itu yang tertuang dalam Al-Qur’an atau sunnah, adalah ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Di sinilah posisi kaidah deduktif ilmu dalam Islam berlaku.
Dalam wahyu pertama juga Allah telah memerintahkan manusia untuk mencari ilmu lewat membaca, seraya meminta perhatian bahwa Allah swt, telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Modus serupa juga terdapat dalam ayat-ayat yang lain, dimana Allah swt, mengajak manusia merenungkan dan memikirkan fenomena alam, psikologi manusia dan sejarah.[10]
Selanjutnya ada juga ayat lain yang mengatakan , Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui? , sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.[11] Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu. “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian,Alquran dan Hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang di kembangkan oleh umat islam dalam spectrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu . peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandan kaum Muslimin terdapat dalam Alquran. Dan sejuh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap  kitab suci ini , yang memugkinkan tidak hanya pengungkapkan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paragdigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu ; pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alquran dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu islam. Singkatnya, Alquran dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat islam.[12]
Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw. Menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal,
طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَة  
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimat. HR. Ibnu Abdil Bari [13]
Ilmu menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Penekanan kepada ilmu dalam ajaran Islam sangat jelas terlihat dalam Al-qur’an, sunnah Nabi saw dan ajaran semua tokoh Islam dari dulu sampai sekarang. Diantar yang paling utama adalah Al-qur’an surah al-‘Alaq: ayat 1-5 yang membrikan tekanan pada pembacaan sebagai wahana penting dalam usaha keilmuwan, dan mengukuhkan kedudukan Allah swt. Sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak dikehetahuinya.”
Dalam menafsirkan kelima ayat diatas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi manusia. Ibn Katsir menulis:
“Dalam ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasannya manusia diciptakan dari segumpal darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah Ta’ala adalah mengajarkan manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia terletak pada ilmu. Dan, inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih istimewa daripada malaikat.”[14]
Penekanan terhadap pentingnya ilmu dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu (‘ulama). Al-Qur’an menegaskan bahwa sangat berbeda sekali antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui,
“Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menenrima pelajaran” (az-Zumar: 9).
Orang-orang yang beilmu dan menyibukkan dirinya dalam majelis-majelis keilmuan, tentunya disamping juga mereka beriman, dalam penilaian Allah memiliki derajat yang sangat terhormat,
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ    
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadalah : 11)
Semua pencari ilmu, tegas Nabi saw., akan dimudahkan jalannya ke surge. Para malaikat akan menghormatinya dengan meletakkan sayap-sayapnya. Seluruh makhluk yang ada di bumi sampai ikan-ikan yang ada di laut terdalam sekalipun, akan memohonkan ampunan. Itu disebabkan kemuliaan mereka yang jika dibandingkan dengan orang-orang ahli ibadah yang kurang ilmunya ibarat bulan purnama ditengah gugusan bintang-bintang. Mereka semua adalah para pewaris nabi. Di tangan merekalah ilmu para nabi, yang lebih berharga daripada dinar dan emas, diembankan.
(مَن سَلَكَ طَرِيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surge.” (HR Muslim)
Hadits di atas memberi gambaran bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat. Karena dengan ilmu orang dapat beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan ilmu pula seorang muslim dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut ilmu adalah orang yang sedang menuju surga Allah.
Mencari ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas usia, baik anak-anak maupun orang tua. Kewajiban menuntut ilmu dapat dilaksanakan di sekolah, pesantren, majlis ta’lim, pengajian anak-anak, belajar sendiri, penelitian atau diskusi yang diselenggrakan oleh para remaja mesjid.
Ilmu merupakan cahaya kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan di dunia terasa lebih indah, yang susah akan terasa mudah, yang kasar akan terasa lebih halus. Dalam menjalankan ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu dengan mengamalkan ilmu di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan dan dapat memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.

2.2     Fase Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai sekarang.[15]
2.2.1        Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.[16]
Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional.
Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tawhid.  Muhammad mulai mendapatkan perlawanan  dan tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Qurasiy.[17]
Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Periode Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan pengikutnya sehingga Nabi melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk menyusun kekuatan baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan ekonomi untuk menyatakan perang ekonomi kepada pedagang Quraiys.[18] Secara sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy Mekkah.[19] Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan perpindahan Nabi dan umat Islam untuk menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya.
Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya -Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah- secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.[20] Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[21]
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.[22]
Peran para khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode ini, terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.[23]
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan.[24]
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M)[25] dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi.[26]
Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih dalam filsafat.[27]
Ringkasnya, periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini, menurut Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa. Memang sebagaimana dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara 600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa.[28]
2.2.2        Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat.[29] Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.[30]
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.
Di samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.[31]
Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.[32] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya.
Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[33]
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[34]
2.2.3        Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah.[35] Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya dekonstruksi oleh para pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika politik kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi. Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan ajaran-ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan), revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan bahkan  muncul juga sekularisme yang kontroversial.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam empat model gerakan sebagai berikut:
a)      Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India[36]. Menurut Harun Nasution[37], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais[38], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan ini.[39] (Amien Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).
b)      Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu.
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.[40]
c)      Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.[41]
d)     Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu,  menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.[42]

2.3    Sketsa Histrosis Pembidangan Ilmu dalam Islam
Sejak periode klasik, bisa dikatakan telah ada pembidangan ilmu yang pada umumnya  terbagi kepada ilmu-ilmu agama dan non-agama.[43] Sebutan untuk ilmu agama beragam; al-‘ulum al-diniyyah, al-‘ulum al-naqliyyah, al-‘ulum al-Syar’iyyah, al-‘ulum al-Islamiyyah, dan ‘ulum al-‘Arab. Untuk ilmu non-agama biasa disebut dengan al-‘ulum al-dunyawiyyah, al-‘ulum al-‘Aqliyyah, al-‘ulum al-dakhilah, ‘ulum al-‘Ajam dan ‘ulum al-Awail. Ilmu seperti tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, dan tasawuf adalah kelompok ilmu-ilmu agama. Sedangkan bahasa Arab, sejarah, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, kimia, fisika, kosmografi termasuk kelompok ilmu non-agama.
Imam Syafi’i, salah satu pendiri Madzhab Fikih, juga melakukan pengelompokan ilmu dari sisi legal knowledgenya. Menurutnya, ilmu ada dua; pertama, ‘ilm ‘ammah (ilmu yang diterima secara umum) dan kedua ‘ilm khasshah (ilmu yang menjadi wilayah orang-orang tertentu). Ilmu ‘Ammah mempunyai nash yang tegas dalam al-Qur’an dan Hadis Mutawatir di mana tidak terjadi perbedaan periwayatan serta kewajibannya. Ilmu yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadlan, melaksanakan haji bagi yang mmapu, membayar zakat, haramnya zina, membunuh, mencuri, minum khamr. Semua tidak ada perbedaan pendapat di kalangan muslim. Sedangkan yang selain itu, dikategorikan ke dalam ‘ilm khasshah.[44] Pembidangan ilmu versi Syafi’i ini mengantarkan kepada wilayah kesadaran bersama bahwa untuk kelompok pertama tidak terdapat ruang perbedaan pendapat, namun untuk kelompok kedua sangat terbuka ruang perbedaan pendapat yang seluas-luasnya. A. Qadri Azizy menafsirkan pendapat Syafi’i bahwa yang tidak boleh terjadi perbedaan pendapat dari kelompok pertama dalam pandangan Syafi’i hanyalah garis besar dari beberapa hal, sedangkan uraian detailnya juga terbuka ruang yang lebar untuk terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini bisa terjadi karena perbedaan analisis atau kesimpulan penelitiannya.[45]
Filosof muslim periode klasik, Al-Farabi (w.339 H) mengelompokkan ilmu menjadi lima bagian, yaitu:[46]
a.       Ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahwu, sharf dan lain-lain.
b.      Ilmu logika yang mencakup pengertian, manfaat, silogisme dan sebagainya.
c.       Ilmu propadetis (al-ta’lim) yang mencakup ilmu hitung, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik dan sebagainya.
d.      Ilmu fisika dan metafisika.
e.       Ilmu sosial, ilmu hukum dan ilmu kalam.
Ibnu Buthlan (w. 450 H), seorang ahli kedokteran yang mengelompokkan ulama yang wafat sekitar pertengahan abad kesebelas Masehi ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang mereka tekuni; 1) Ilmu-ilmu Keagamaan, 2) Ilmu-ilmu Klasik, dan 3) Ilmu-ilmu Sastra.[47] George Makdisi melukiskan keharmonisan ketiga pembidangan ilmu di atas sebagai piramida terbalik, atau dengan segi tiga sama kaki yang terbalik, di sebelah sudut kanan atas adalah ilmu-ilmu keagamaan, di sebelah kirinya ilmu-ilmu awail seperti filsafat dan di bawahnya ilmu-ilmu sastra yang menopang ilmu-ilmu di atasnya.[48]
Ibnu Khaldun (w.808 H) dalam bukunya, membuat dua pembagian besar, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pemikiran (thabi’i) dan ilmu yang diperoleh melalui tradisi (naqli).[49] Pertama disebut ilmu filsafat atau akal dan mencakup logika, fisika, metafisika, ilmu hitung, geometri, musik dan astronomi. Kedua disebut ilmu naqli yang mencakup tafsir, hadis, hukum, ilmu kalam, tasawuf dan ilmu bahasa.
Al-Ghazali (w. 1111 M) yang dipuncak ketokohannya lebih intens dalam bidang tasawuf, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syari’at dan non-syari’at.[50] Cukup menarik, ternyata tidak saja ilmu-ilmu seperti kedokteran dan ilmu hitung yang penguasaannya dihukumi fardlu kifayah, bahkan ilmu-ilmu syari’at, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir, rijal al-Hadis, ushul Fiqih dan Fiqh, oleh Al-Ghazali juga dihukumi fardlu kifayah. Sedangkan ilmu yang fardlu ‘ain hanya terbatas pada penguasaan ilmu mengenai kewajiban-kewajiban dasar yang dalam penerapannya amat ditentukan oleh waktu, situasi dan kondisi tertentu dari setiap individu.
Klasifikasi ilmu seperti di atas muncul secara wajar, dalam pandangan Ibnu Khaldun, atas fenomena pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.[51] Sementara secara epistemologi Islam, klasifikasi seperti itu tidak ada. Namun, perlu digaris bawahi bahwa pengklasifikasian ilmu tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap gairah intelektual di kalangan muslim klasik. Memang secara kasuistik ada saja pertentangan, akan tetapi bukan sebagai pandangan umum (public image), seperti dijelaskan oleh Nurcholis Madjid. Ia menyatakan, “sekeras-kerasnya percekcokan intelektual di masa klasik, tidaklah hal itu membawa kepada sikap parokialistik dan sikap anti ilmu...”[52]
Pada abad 13 Masehi, pemisahan secara tegas terjadi, di mana madrasah tidak lagi memasukkan ilmu-ilmu awail. Akibat tidak dimasukkannya ilmu-ilmu awail ke dalam kurikulum madrasah, penyebaran ilmu-ilmu ini harus bergantung sepenuhnya pada usaha-usaha belajar perorangan.[53] Hal ini kemudian disinyalir sebagai pemicu sikap antipati dan kecaman terhadap ilmu-ilmu awail terutama filsafat yang telah dicurigai oleh para teolog di abad kesebelas Masehi.[54]
Lambat laun, terbentuklah kesadaran baru yang sebenarnya amat merugikan umat Islam, yakni apa yang disebut oleh Anees sebagai “dikotomi konseptual” yang menurutnya dalam batas-batas tertentu sebagai akibat yang wajar dari ajaran sufi. Munculnya istilah ilmu terpuji (mahmud) dan ilmu tercela (madzmum) berakibat pada penekanan pengetahuan keagamaan dan dikorbankannya cabang-cabang pengetahuan lainnya. Menurutnya, hal ini menimbulkan kontradiksi yang besar dan membekas ke dalam kultur umat Islam belakangan yang tidak dapat dihilangkan.[55]

2.4    Ilmuwan Muslim dan Penemuannya
Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatu paduan antara nilai kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat pengembangan sains, dan sebagainya, kesemuanya itu sebagai perwujudan dari bentuk-bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah.[56] Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau terpisah dari pertanggung jawaban (para penciptanya) terhadap Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “Wa Fauqo Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Aliim” (QS. Yusuf: 76).
Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor[57] menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan sistem keyakinan si pencipta (kreator) nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrin-doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur dari luar dengan begitu antusias, untuk kemudian menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu sendiri.

2.5    Kontribusi Ilmuwan Muslim di Bidang Sains
Konstribusi ilmuwan muslim dalam bidang sains, khususnya ilmu alam (natural science; ilmu kauniyah) amatlah besar, sehingga usaha menutupinya, memperkecil perannya, mengaburkan sejarahnya tidak sepenuhnya berhasil. CIPSI (Center for Islamic Philosophical Studies an Information) sebuah lembaga penelitian yang dipimpin Mulyadhi Karta negara telah menginvertaris setidaknya ditemukan tidak kurang 756 ilmuwan Muslim termuka yang memiliki konstribusi dalam perkembangan sains dan pemikiran filsafat. Daftar ini baru tahap awal, dan tidak termasuk di dalamnya ribuan ulama dalam disiplin ilmu-ilmu syar’iyyah.
Saat ini, sangat banyak rujukan berupa buku, jurnal ilmiah atau situs internet, yang bisa kita gunakan untuk mengetahui informasi ini. Bahkan ada beberapa lembaga yang khusus didirikan untuk melakukan inventarisasi kontribusi ilmuwan muslim dalam peradaban dunia. Namun sayangnya sejarah kegemilangan ilmuwan muslim ini amatlah langka kita temui dalam buku-buku sains di lingkungan sekolah dan akademik. Sejarah sains biasanya disebutkan dimulai sejak zaman Yunani Kuno kira-kira 550 SM pada masa Phytagoras, kemudian meredup pada zaman Hellenistik sekitar 300 SM yang dipenuhi mitos dan tahayul, kemudian bangkit kembali pada masa Renaissance sekitar abad 14-17 M hingga saat ini. Dengan demikian sejarah sains “hilang” selama lebih dari 1500 tahun lamanya dari buku-buku pelajaran dan buku teks sains.[58]
Sementara itu ada diantara kaum Muslim sendiri memandang usaha untuk mengungkap sejarah sains dan penemuan ilmuwan Muslim sebagai usaha yang bersifat apologetik dan hanya nostalgia semata. Namun pandangan sinis seperti ini sangat tidak benar, sebab menemukan akar sejarah adalah penting bagi peradaban manapun di dunia ini, terlebih bagi peradaban yang ingin bangkit dari keterpurukan. Banyak pelajar, mahasiswa atau bahkan guru dan dosen Muslim yang mungkin tak kenal sama sekali, bahwa perkembangan teknologi kamera tak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu Ibn Al Haytham. Ia adalah seorang pakar optik dan pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optik, al- Manadir (book of optics), khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snellius dalam bentuk yang lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh Al Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei, menggabungkan teori Al Haytham dengan temuan mereka. Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton, juga telah diungkap oleh Al Haytham abad ke- 11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14. Al Haytham dikenal juga sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera”. Kata “kamera” sendiri, konon berasal dari kata “qamara“, yang bermaksud “yang diterangi”. Kamera Al Haytham memang berbentuk bilik gelap yang diterangi berkas cahaya dari lubang di salah satu sisinya. Dalam alat optik, ilmuwan Inggris, Roger Bacon (1292) menyederhanakan bentuk hasil kerja Al Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk membantu penglihatan, dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di Cina dan Eropa.[59]
Dalam bidang Fisika-Astronomi, Ibnu Qatir, ilmuwan muslim yang mempelajari gerak melingkar planet Merkurius mengelilingi matahari. Karya dan persamaan Matematikanya sangat mempengaruhi Nicolaus Copernicus yang pernah mempelajari karya-karyanya. Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya keseluruh Spanyol pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan kompas yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat menemukan benua Amerika. Ilmuwan lain, Taqiyyuddin (m. 966) seorang astronom telah berhasil membuat jam mekanik di Istanbul Turki. Sementara Zainuddin Abdurrahman ibn Muhammad ibn al-Muhallabi al-Miqati, adalah ahli astronomi masjid (muwaqqit – penetap waktu) Mesir, dan penemu jam matahari. Ahmad bin Majid pada tahun 9 H atau 15 Masehi, seorang ilmuwan yang membuat kompas berdasarkan pada kitabnya berjudul Al-Fawaid. Ilmuwan Muslim lain, Abdurrahman Al-Khazini, saintis kelahiran Bizantium atau Yunani adalah seorang penemu jam air sebagai alat pengukur waktu. Para sejarawan sains telah menempatkan al-Khazini dalam posisi yang sangat terhormat. Ia merupakan saintis Muslim serba bisa yang menguasai astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika dan filsafat. Sederet buah pikir yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. Al-Khazani juga seorang ilmuwan yang telah mencetuskan beragam teori penting dalam sains. Ia hidup di masa Dinasti Seljuk Turki. Melalui karyanya, Kitab Mizan al-Hikmah, yang ditulis pada tahun 1121-1122 M, ia menjelaskan perbedaan antara gaya, massa, dan berat, serta menunjukkan bahwa berat udara berkurang menurut ketinggian. Salah satu ilmuwan Barat yang banyak terpengaruh adalah Gregory Choniades, astronom Yunani yang meninggal pada abad ke-13.
Nama lain yang sangat terkenal adalah Abu Rayian al-Biruni dalam Tahdad Hikayah Al-Makan. Ia adalah penemu persamaan sinus dan menyusun dan menyusun sebuan ensiklopedi Astronomi Al-Qanan Al-Mas’adiy, di dalamnya ia memperkenalkan istilah-istilah ilmu Astronomi (falak) seperti zenith, ufuk, nadir, memperbaiki temuan Ptolemeus, dia juga mendiskusikan tentang hipotesis gerak bumi. Ia menuliskan bahwa bumi itu bulat dan mencatat “daya tarik segala sesuatu menuju pusat bumi”, dan mengatakan bahwa data astronomis dapat dijelaskan juga dengan menganggap bahwa bumi berubah setiap hari pada porosnya dan setiap tahun sekitar matahari.
Abdurrahman Al-Jazari, ahli mekanik (ahli mesin) yang hidup tahun 1.100 M, membuat mesin penggilingan, jam air, pompa hidrolik dan mesin-mesin otomatis yang menggunakan air sebagai penggeraknya, Al-Jazari sebenarnya telah mengenalkan ilmu automatisasi. Al-Fazari, seorang astronom Muslim juga disebut sebagai yang pertama kali menyusun astrolobe. Al- Fargani atau al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Muhammad Targai Ulugh-Begh (1393-1449), seorang pangeran Tartar yang merupakan cucu dari Timur Lenk, diberi kekuasaan sebagai raja muda di Turkestan, berhasil mendirikan observatorium yang tidak ada tandingannya dari segi kecanggihan dan ukurannya. Observatorium ini adalah yang terbaik dan paling akurat pada masanya, sehingga menjadikan kota Samarkand sebagai pusat astronomi terkemuka.[60]
Ketika itu sudah terbit Katalog dan tabel-tabel bintang berjudul Zijd-I Djadid Sultani yang memuat 992 posisi dan orbit bintang. Tabel ini masih dianggap akurat sampai sekarang, terutama tabel gerakan tahunan dari 5 bintang terang yaitu Zuhal (Saturnus), Mustary (Jupiter), Mirikh (Mars), Juhal (Venus), dan Attorid (Merkurius). Kitab ini sudah mengkoreksi pendapat Ptolomeus atas magnitude bintang-bintang. Banyak kesalahan perhitungan Ptolomeus. Hasil koreksi perhitungan terhadap waktu bahwa satu tahun adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit dan 15 detik, suatu nilai yang cukup akurat. Ilmuwan lain lagi bernama Al-Battani atau Abu Abdullah atau Albategnius (m. 929). Ia mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolomeus, orbit matahari dan planet tertentu. Ia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan, mendisain catalog bintang, merancang jam matahari dan alat ukur mural quadrant. Karyanya De scientia stellarum, dipakai sebagai rujukan oleh Kepler, Copernicus, Regiomantanus, dan Peubach. Copernicus mengungkapkan hutang budinya terhadap al-Battani.
Dalam bidang pengobatan dan kedokteran, peradaban Islam mencatatkan sejarah yang gemilang, hal ini disebabkan karena pengobatan sangat erat kaitannya dengan agama (Nasr 1976) . Berbagai bidang dalam ilmu pengobatan dan kedokteran dipelajari, seperti ilmu obat-obatan, ilmu bedah, ophtamology, internal medicine, hygiene dan kesehatan masyarakat, anatomi dan fisiology, bahkan dalam Islam terdapat disiplin ilmu yang khas yang disebut dengan “Tib an-Nabawy” atau “pengobatan cara Nabi”. Sebagai contoh, misalnya karya monumental Ibn Sina al-Qanun fi at-Tib yang merupakan buku teks bagi bagi pendidikan kedokteran di Eropa selama beratus-ratus tahun sebelum mereka mengalami kebangkitan sains. Dalam bidang ilmu bedah ada tokoh ilmu bedah Abu‟l Qasim al-Zahrawi dengan karya ilmu bedahnya Kitab al-ta’rif (The book of concession), ia juga menciptakan berbagai alat bedah yang masih digunakan para dokter bedah hingga saat ini. Dua ahli kedokteran ar-Razi (865-925) atau Rhazes dan Ibn Sina (980-1037) adalah pelopor dalam bidang penyakit menular. Ar-Razi telah mempelopori penemuan ciri penyakit menular dan memberikan penanganan klinis pertama terhadap penyakit cacar, dan Ibn Sina adalah salah satu pelopor yang menemukan penyebaran penyakit melalui air. Bagaimanapun juga, tidak mungkin mengungkap seluruh kontribusi ilmuwan Muslim dalam ruang yang begitu terbatas dalam makalah ini, namun sekurangnya gambaran yang diberikan di atas, dan referensi yang bisa ditelusuri lebih lanjut bisa menambah pengetahuan kita tentang sejarah sains di dunia Islam.
Prestasi dan kontribusi para ilmuwan Muslim ini perlu dikenalkan di sekolah-sekolah. Bukan untuk mengecilkan peran ilmuwan lain dari agama dan keyakinan lain. Tapi untuk mengungkap kebenaran sejarah sains, bahwa perkembangan sejarah sains tidak meloncat begitu saja dari zaman Yunani ke Barat modern. Ada peran luar biasa dari peradaban Islam di situ yang tidak mungkin dan terlalu besar untuk diabaikan.
Tanpa kehadiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat saat ini tidak mungkin terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa saat ini. Secara jujur, hal ini diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat sendiri, yakni Emmanuel Deutscheu asal Jerman, Ia mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern.
Karena itu, sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.”(Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa). Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Obama. Hal itu terungkap saat dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Beliau menyatakan: Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah - di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar - yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.[61]
Ilmuwan Muslim telah banyak berjasa dalam pengembangan SAINS, khususnya ilmu kimia. Setelah menerjemahkan dan mempelajari tulisan-tulisan tentang alkimia, baik dari Yunani maupun dari Mesir, ahli kimia Muslim menyadari bahwa alkimia yang dilakukan oleh orang-orang Yunani dan Mesir pada zaman purba itu bersifat spekulatif bercampur mistik. Oleh karena itu para ahli kimia Muslim menentangnya dan mereka melakukan eksperimen yang kemudian menghasilkan zat-zat kimia baru yang dikenal antara lain sebagai: asam, basa, alkohol, dan garam.
Istilah alkali untuk basa berasal dari kata Arab “al-kali” yang berarti abu tumbuhan, dan natrium hidroksida adalah basa penting yang telah dibuat oleh ilmuwan Muslim. Eksperimen yang mereka lakukan meliputi antara lain  destilasi, sublimasi, kristalisasi, oksidasi, dan presipitasi. Mereka juga telah membuat beberapa senyawa dalam jumlah besar, baik untuk keperluan ilmiah maupun pengobatan. Senyawa mineral yang telah disintesis antara lain besi sulfat, merkuri sulfida, merkuri oksida, tembaga sulfat, tembaga sulfida, natrium bikarbonat, dan kalium sulfide.
Para ahli kimia Muslim juga telah mengenal cara memperoleh tembaga murni, yaitu dengan jalan mengalirkan larutan tembaga sulfat pada potongan-potongan besi. Ini adalah suatu penemuan dalam bidang elektrokimia. Demikian pula penemuan tentang berkaratnya logam biasa bila kena udara yang lembab adalah suatu penemuan yang penting pada masa itu. Selain dalam ilmu kimia, mereka juga memberikan sumbangan dalam bidang teknologi kimia. Mereka menyempurnakan pembuatan gelas dan memberikan warna-warna dengan menggunakan oksida-oksida logam.
Pembuatan baja untuk pedang yang dikenal di seluruh dunia dilakukan oleh para pekerja Muslim di kota Damaskus dan di Spanyol. Demikian pula mereka menyempurnakan teknologi pembuatan kertas pada abad ke-9 M.
Kertas pada awalnya dibuat oleh orang-orang Cina dengan menggunakan bahan sutera dengan proses yang rumit. Ilmuwan Muslim membuat kertas dari kapas karena kayu sangat jarang terdapat di wilayah Timur Tengah. Mereka telah mampu mengolah kapas dengan bahan-bahan kimia melalui proses kimia dalam jumlah besar, sehingga dalam abad pertengahan telah dapat dibuat jutaan buku. Penemuan pembuatan kertas dengan cara ini telah membuka cakrawala baru dalam peradaban manusia. Teknologi pembuatan kertas ini kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para ilmuwan di Eropa.
Meskipun penemuan salpeter atau kalium nitrat dilakukan oleh orang Cina, namun baru pada akhir pemerintahan Dinasti Thang, kira-kira tahun 906, mereka mengembangkannya hingga menjadi bahan peledak untuk keperluan senjata. Pada tahun 870, orang Arab telah melakukan penambangan salpeter. Para ahli kimia Muslim kemudian membuat bahan peledak dari saltpeter dengan menambahkan belerang, karbon, dan bahan kimia lainnya. Pada abad ke-10 M, mereka menemukan nitrogliserin yang juga merupakan bahan peledak. Hasil penemuan mereka ini diperkenalkan kepada dunia Barat dan pada abad ke-13 M, Roger Bacon, seorang ahli kimia Eropa, berhasil membuat dan mengembangkan pembuatan bahan peledak ini.
Penggunaan proses destilasi oleh para ahli kimia Muslim untuk memurnikan suatu zat merupakan revolusi dalam ilmu kimia. Mereka telah mampu memurnikan dan memperoleh berbagai macam zat kimia dalam keadaan murni. Dengan proses destilasi terhadap hasil fermentasi gula dan pati, mereka telah dapat membuat dan memurnikan alcohol yang dalam Bahasa Arab disebut al-quhul. Zat kimia yang diperoleh antara lain asam cuka, minyak lemon, minyak mawar, asam sulfat, dan aldehid.
Dengan demikian, dalam periode Islamlah para ilmuwan Muslim telah mempelopori perkembangan ilmu kimia dan teknologi kimia. Di antara mereka yang berjasa ialah Jabir Ibnu Hayyan, Al-Kindi, dan Ar-Razi.

















BAB III
PENUTUP

3.3    Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban. Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Pemaknaan dan pemahaman terhadap kedua sumber itu yang menyebabkan perbedaan generasi umat Islam dari awal hingga sekarang. Interptreasi itu pulalah yang menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islam mengalami fluktuasi.
Secara garis besar, perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dibagi menjadi tiga fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya. 2) Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak ada lagi buah karya atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun. 3) Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam. Secara umum, ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah, Modernisme, Westernisme dan Sekularisme.
3.2    Saran
            Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah. 1974. Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, terjemahan Bustani A. Gani dan Johar Bahry dengan judul “Dasar-Dasar Pendidikan Islam”. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. 1994. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra. Mekkah: Dar Al-Baz.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. Syu’ab Al-Iman. Maktabah Syamilah 2.
Al-Faruqi, Ismail Raj’i. 1982. Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Al-Ghazali. t.t. Ihya’ ‘Ulum Al-Din. t.tp: Dar Al-Ihya’ al-Kutub Al-‘Arabiyah.
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Khudary, Muhammad ibn ‘Afifi. 2004. Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursalin. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Sirjany, Raghib. 2009.  Madza Qaddama Al-Muslimun li Al-‘Alam: Ishamat Al-Muslimin fi Al-Hadlorat Al-Insaniyyah. Kairo: Muassasah Iqra’.
Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. t.t. Al-Risalat. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Anees, Munawar Ahmad. 1991. Menghidupkan Kembali Ilmu, Al-Hikmah 3. Bandung: Yayasan Muthahari.
Arifin, Syamsul et, al,. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SipPress.
Azizy, A. Qadri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama Islam RI.
Bakri,Syamsul. 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Donohue, John J. 1995. Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Garaudi, Roder. 1983. Promisses De L-Islam, terjemahan H.M. Rasjidi, dengan judul Janji-Janji Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Gaudah, Muhammad Gharib. 2012. 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.
Halkin, Abraham S. 1956. The Judeo-Islamic Ages & Ideas of the Jewish People. New York: The Modern Library.
Khaldun, Abdur Rahman Ibn. t.t. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah.
Khaleel, Shwaki Abu. 1991. Islam on the Trial. Beirut: Dar Al-Fikr.
Madjid, Nurcholis. September 1992. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Makalah Seminar Nasional tentang Islam dan Ilmu Pengetahuan di IAIN STS Jambi.
Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh Unibersity Press.
Miller, Rolland E. 2003. “Christian-Muslim Relations; A Study Program of The Lutheran World Federation 1992-2002” dalam Dialogue and Beyond: Christian and Muslims Together on The Way. Switzerland: The Lutheran World Federation.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
Nasution, Harun. 1992. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Sayili. 1994. Sebab-Sebab Kemunduran Sains dalam Islam, dalam Majalah Al-Hikmah 13.
Schroeeder, Ralph. 1992. Max Weber and The Sociology of Culture. London: Sage.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Sulaiman, Umar. 2012. Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai Transenden-Humanis di Ruang Publik. Yogyakarta: Freshbooks.
Sunanto,  Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Supriyadi, Dedi. 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Turner, Bryan S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir. Yogyakarta: Suluh Press.
Ushaibi’at, Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi ibn Khalifat ibn. 1965. Yunus Ibn Abi ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Atibba’, Ed. Nizar Ridla. Beirut: Dar Maktabah Al-Hayah.




[1] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 2012), hal. 7-8.
[2] Ibid., hal. 5.
[3] QS. 96:1-5.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2013), hal. 569-570.
[5] Secara garis besar, fase sejarah Islam dibagi menjadi tiga; a) Periode Klasik yang dimulai sejak tahun 650-1250 M dan merupakan periode kemajuan Islam dalam berbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan, b) Periode pertengahan dimulai sejak 1250 – 1800 M, dengan semakin meningkatnya disintegrasi tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam paham keagamaan dan sektarian, Fase Tiga Kerajaan Besar (kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India) dimulai sejak tahun 1500 – 1700 M., c) Periode Modern yang dimulai sejak 1800 M – sekarang. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 56-88. Lihat pula: Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 22.
[6] Abraham S. Halkin, The Judeo-Islamic Ages & Ideas of the Jewish People (New York: The Modern Library, 1956), hal. 218-219.
[7] Al-‘Alaq (96) : 1.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2001), cet.12, hlm.433.
[9] Lihat misalnya al-Baqarah: 31,239, dan al-Rahman: 1-4.
[10] Lihat misalnya al-Baqarah: 164 dan Yusuf: 111.
[11] Al-Zumar (39): 9
[12] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Kalimah, 2001), cet. 3, hlm. 13
[13] Sunan Ibn Majah kitab al-muqaddimah bab fadl al-‘ulama wa al-hatsts ‘ala talab al-ilm no. 224 (Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, jilid 1, hlm. 81) Syaikh Al-Albani menilainya Shahih dalam kitab Shahih wa Da’if al-jami’ al-shagir no. 7360 (al-Maktabah al-Syamilah).
[14] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Jilid 4, hlm. 647-648
[15] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1994), hal. 112.
[16] Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), hal. 150-151.
[17] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 19-20.
[18] Shwaki Abu Khaleel, Islam on the Trial (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991), hal. 52.
[19] Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hal. 54.
[20] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah, t.t.),  hal. 344-345.
[21] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 71.
[22] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 11.
[23] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 70.
[24] Ibid., hal. 71.
[25] Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka..., hal. 68-77.
[26] Ibid., hal. 107-118.
[27] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan..., hal. 265-266.
[28] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 74.
[29] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan, hal. 266.
[30] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 82.
[31] Ibid., hal. 83.
[32] Ibid., hal. 84.
[33] Ibid., hal. 85-86.
[34] Ibid., hal. 87-88.
[35] Ismail Raj’i Al-Faruqi, Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982), hal. vii.
[36] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), hal. x.
[37] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 25.
[38] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan...
[39] Ibid., hal. xii.
[40] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 66.
[41]Ibid., hal. 167.
[42] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hal. 306.
[43] Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 316.
[44] Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Al-Risalat (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal 357-360.
[45] A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama Islam RI, 2003), hal. 16.
[46] Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 317.
[47] Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi ibn Khalifat ibn Yunus Ibn Abi ‘Ushaibi’at, ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Atibba’, Ed. Nizar Ridla (Beirut: Dar Maktabah Al-Hayah, 1965), Juz 1, hal 327.
[48] George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh Unibersity Press, 1981), hal. 75.
[49] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 345.
[50] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Al-Din (t.tp: Dar Al-Ihya’ al-Kutub Al-‘Arabiyah, t.t.), hal. 16-18.
[51] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 344-345.
[52] Nurcholis Madjid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Makalah Seminar Nasional tentang Islam dan Ilmu Pengetahuan di IAIN STS Jambi tanggal 18-19 September 1992, hal. 1.
[53] Sayili, Sebab-Sebab Kemunduran Sains dalam Islam, dalam Majalah Al-Hikmah 13, 1994, hal. 85.
[54] Persentuhan Islam dengan Filsafat secara sistematis dimulai ketika terjadi gerakan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab dalam tiga periode. Pertama, dimulai pada masa khalifah Al-Manshur (733-774 M) sampai penghujung masa khalifah Harun Al-Rasyid (786 M). Kedua, di masa Al-Makmun (813 M). Ketiga, di abad kesepuluh Masehi. Lihat, Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 8-10.
[55] Munawar Ahmad Anees, Menghidupkan Kembali Ilmu, Al-Hikmah 3 (Bandung: Yayasan Muthahari, 1991), hal. 77.
[56] Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1997), 11.
[57] Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997.
[58] Shouwy, Mukjizat Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang IPTEK (Bandung: Gema Insani Press, 2001),
37.
[59] Mehdi Golshani, Sains: Bagian dari Agama ( Bandung: Mizan, 2004), 92.
[60] Masood, Tokoh-tokoh Muslim: Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 166.
[61] Asrofi, Rizal, dan Abdurrahman, Sumbangsih Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Sains dan Teknologi Barat, Makalah, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah kerajaan Demak

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai dari para bangsa Arab, Cina, dan Persia yang ...