KATA
PENGANTAR
Puji
serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala limpahan rahmat dan
petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Aliran Filsafat
Pendidikan Perennialisme ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan.
Dorongan
dari orang tua kami dan juga tidak lupa dukungan dan kerja sama dari teman-teman
kami yang begitu besar sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Makalah Aliran
Filsafat Pendidikan Perennialisme ini dengan tepat waktu. Sehingga penulis
mengucapkan banyak terimakasih untuk semuanya.
Kami
berterima kasih kepada Bapak Dr. Zaimudin. M.Ag, Selaku dosen mata kuliah Filsafat
Pendidikan yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah
yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Tangerang Selatan, 10 Oktober
2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
1.1
Latar Belakang.................................................................................... 4
1.2
Rumusan Masalah............................................................................... 4
1.3
Tujuan Penulisan................................................................................. 5
1.4
Manfaat Penulisan............................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 4
2.1 Pengertian Perennialisme.................................................................... 6
2.2 Sejarah Perkembangan Aliran
Perennialisme...................................... 9
2.3 Konsep Pemikiran Perenialisme........................................................ 10
2.4 Tokoh-Tokoh Aliran
Perennialisme................................................... 12
2.5 Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme......................................... 20
2.6 Pandangan-Pandangan Aliran
Perenialisme...................................... 21
BAB III PENUTUP............................................................................................. 27
3.1 Kesimpulan....................................................................................... 27
3.2 Saran................................................................................................. 27
Daftar Pustaka....................................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aliran perennialisme merupakan
terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara
kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa
hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini aliran
perennialisme dalam filsafat pendidikan.
Perennialisme diambil dari kata
perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English
diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a
very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
adalah aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme lahir pada tahun
1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang
baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacauan, ketikdak
pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan
sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian aliran perennialisme?
2.
Bagaimana sejarah aliran perennialisme?
3.
Bagaimana aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah yang
kami tulis, dalam pembuatan makalah Aliran Filsafat Pendidikan
Perennialismedengan perumusan masalah di atas adalah :
1.
Menjelaskanpengertian aliran perennialisme.
2.
Menjelaskan sejarah perkembangan aliran perennialisme.
3.
Menjelaskan aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas kelompok sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah Filsafat
Pendidikan . Serta menambah pengetahuan tentang Aliran Filsafat Pendidikan
Perennialismeyang diharapkan sangat bermanfaat bagi banyak orang yang membaca
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata
perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English
diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a
very long time” – abadi atau kekal.[1]Dari
makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perennialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Istilah philosophia perennis (filsafat
keabadian) barangkali digunakan untuk
pertama kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya
De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540.[2]
Istilah tersebut dimasyhurkan oleh
Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian jejak-jejak
kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari
yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.[3]
Sebagaimana diungkapkan oleh Leibniz filsafat
perenial merupakan metafisika yang mengakui realitas ilahi yang substansial
bagi dunia benda-benda, hidup dan
pikiran ; merupakan psikologi yang menemukan sesuatu yang sama di dalam jiwa dan bahkan identik dengan realitas
ilahi. Unsur-unsur filsafat perenial dapat
ditemukan pada tradisi bangsa primitif dalam setiap agama dunia dan pada bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh
pada setiap hal dari agama-agama yang lebih tinggi.[4]
Istilah perenial biasanya muncul dalam wacana
filsafat agama dimana agenda yang dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan,
wujud yang absolut, sumber dari sagala
sumber. Kedua, membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga, berusaha
menelusuri akar-akar religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol
serta pengalaman keberagamaan.[5]
Ada perbedaan pandangan diantara para tokoh
berkenaan dengan awal kemunculan
filsafat perenial. Satu pendapat mengatakan bahwa istilah filsafat perenial berasal dari Leibniz, karena istilah
itu digunakan dalam surat untuk temannya
Remundo tertanggal 26 Agustus 1714, meskipun demikian Leibniz tidak pernah
menerapkan istilah tersebut sebagai nama terhadap sistem filsafat siapapun
termasuk sistem filsafatnya sendiri.[6]
Kemudian pada pertengahan abad ini (1948)
Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis
buku yang diberi judul The Perennial Philosophi.[7] Pandangan
lain yang menyangkal pendapat ini telah menunjukkan bukti bahwa jauh sebelum
tanggal tersebut Augustino Steucho (1490-1518)
telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul “De Perenni Philosophia” pada tahun 1540. Buku tersebut
merupakan upaya untuk mensintesiskan
antara filsafat, agama, dan sejarah berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang sudah mapan. Karya Steuchus De
Perenni Philosophia telah mempengaruhi
banyak orang, antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficino, filsafat perenial disebutnya sebagai filsafat kuno yang
antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang berarti filsafat atau
teologi kuno yang terhormat.[8]
Steuco menggunakan istilah perenni untuk
menyebut sistemnya sendiri yang sudah
mapan dan kompleks. Dalam konteks ini istilah perenial dapat dipahami dalam dua
arti : pertama, sebagai suatu nama dari suatu tradisi filsafat tertentu, kedua, sebagai sifat yang menunjuk
pada filsafat yang memiliki keabadian ajaran, apapun namanya.[9]
Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya
jauh sebelum Steuchus atau Leibniz,
agama hindu telah membicarakannya dalam istilah yang disebut Sanatana Darma. Demikian juga di kalangan kaum
Muslim, mereka telah mengenalnya lewat
karya ibnu Miskawaih (932-1030), al-Hikmah al-Khalidah yang telah begitu panjang lebar membicarakan
filsafat perenial. Dalam buku itu, Miskawaih
banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang orang suci
dan para filosof, termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia Kuno,
India, dan Romawi.[10]
Meminjam istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat
perennial juga bisa disebut sebagai
tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek
dan percabangannya. Disebut al-sunnah
karena perennial mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasan turun-temurun di
kalangan masyarakat tradisional. Disebut
al-silsilah karena perennial juga merupakan rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan
dan pemikiran di dunia tradisional kepada
sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas dalam dunia tasawuf. Dengan demikian filsafat perenial adalah
tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi
yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan
merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.[11]
Perennialisme melihat bahwa akibat
dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang
kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan
keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to
culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan
dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada kebudayaan
masa lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya.
Asas yang dianut perennialisme
bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu (a) perennialisme
yang theologis – bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan
orientasipada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perennialisme sekuler
berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[12]
2.2 Sejarah Perkembangan
Aliran Perennialisme
Aliran perennialisme lahir pada abad
kedua puluh. Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh
kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert
Maynard Hutchins dan ortimer Adler.[13]
Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai
suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perennialisme
memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak pastian dan ketidak
teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini. Teori atau konsep
pendidikan perennialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang
merupakan bapak edialime klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme
klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat
Aristoteles dengan ajaran (filsafat) greja katolik yang tumbuh pada zamannya
(abat pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad
ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perennialisme. Namun,
mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat
perenial ini hanya dalam kerengka sejalan pemikiran barat saja, melainkan juga
terjadi di wilayah lainnya . dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak
perkembanganfilsafat perenial jauh lebih tampak
Dalam konteks sejarah perkembangan
intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ni mendafat
eleborasi sistem dari para perenialis barat, seperti Agostino Steunco. Namun,
filsafat perenial atau yang sering disebut sebagai kebijaksanaan univeral,
disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai
rumtuh menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dimonan adalah
perkembangan yang pesat dari pilsafat materialis. Filsafat materialis ini
membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia
pada saat itu.
Memasuki abad ke-18, karena pengaruh
filsafat materialis, bayak aspek relita yang diabaikan, dan yang tinggal
hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat mempengaruhi
pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16 hingga akhir
abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada
tia-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman kontemporer. Dan
zaman kontemporer inilah dapat dikatakan zama kebangkitan filsafat perennialisme.[14]
2.3 Konsep
Pemikiran Perenialisme
Filsafat perenial dikatakan juga
sebagai filsafat keabadian, sebagaimana dikatakan oleh Frithjof Schuon “philosophi perennis is the
universal gnosis wich always has existed and always be exist” (filsafat perenial adalah
suatu pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada
selamanya).[15]
Filsafat Perenial sebagai suatu
wacana intelektual, yang secara popular muncul
beberapa dekade ini, sepenuhnya bukanlah istilah yang baru.16 Filsafat Perennial cenderung dipengaruhi oleh nuansa spiritual yang kental.
Hal ini disebabkan oleh tema yang diusungnya, yaitu “hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ia dibicarakan oleh agama.
Makanya tidak mengherankan baik di barat maupun Islam, bahwa lahirnya
filsafat perennial adalah hasil telaah kritis para filosof yang sufi (mistis) dan sufi
(mistis) yang filosof pada zamannya.
Kemudian pada pertengahan abad ini
(1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah
filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial
Philosophi. Ia menyebutkan, bahwa filsafat perenial mengandung tiga pokok
pemikiran : 1) Metefisika yang memperlihatkan sesuatu hakikat kenyataan ilahi
dalam segala sesuatu. 2) Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu yang ada dalam jiwa manusia. 3) Etika yang
meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat transenden.[16]
Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi,
sebagaimana yang telah dijelaskan Huxley
“Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam
masyarakat primitif di seluruh penjuru
dunia. Suatu versi dari kesamaan tertinggi dalam teologi-teologi dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua
puluh lima abad yang lalu, dan sejak itu
tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua
bahasan utama Asia dan Eropa.” Jadi, jelas, bahwa tema utama hikmah abadi
adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang
merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk ‘hakikat-hakikat
eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda.
Kaum perenialis amat menekankan tradisi
kesejarahan. Secara historis, perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama
dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
2.4 Tokoh-Tokoh Aliran Perennialisme
Para tokoh filsafat perenial tidak
sepopuler filsuf-filsuf pada tradisi filsafat yang lain, meskipun sesungguhnya pemikiran yang mereka sampaikan memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran masyarakat dan para
filsuf lain pada saat itu.
1. Rene Guenon
Rene Guenon dan muridnya seperti
Frithjof Schuon merupakan generasi baru intelektual Barat yang telah tersadar dari kematian
spiritual Barat, lalu mencoba merumuskan metafisika yang sangat kreatif
sebagai pandangan dunia alternatif bagi filsafat materialistik Barat.
Rene Guénon (1886-1951) yang adalah
tokoh filsafat perenial, masuk ke sekolah Gérard Encausse di Prancis. Ia mendirikan Free School of
Hermetic
Sciences, sebuah sekolah yang mengkaji tentang mistisisme. Selama berada di Prancis ia tidak hanya aktif mengikuti berbagai kajian
mistis, namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh freemason[17],
teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Karyanya antara lain berjudul The
Crisis Of The Modern Word, sebuah buku yang melukiskan krisis manusia modern.[18]
Guenon menghidupkan kembali
nilai-nilai hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi lama. Ia menyebutnya sebagai primordial
tradition (tradisi primordial). Guenon awalnya katolik
selanjutnya memeluk islam pada tahun
1912 nama Islamnya Abdul Wahid Yahya. Namun begitu, selama kehidupannya di Prancis, Guenon tidak dikenal
telah mempraktekkan Islam.
Buah pemikiran Guenon antara lain adalah
pendapatnya mengenai ilmu. Ia
berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga
namun ia hanya bermakna dan bermanfaat
jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guenon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari
supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu ilmu tersebut
tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama
tertentu. Ia adalah milik bersama semua semua tradisi primordial. Perbedaan teknis yang terjadi
merupakan jalan dan cara yang berbeda
untuk merealisasikan kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya
yang unik untuk memahami realitas.
Pengalaman spiritual Guenon dalam gerakan teosofi dan freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua
agama memiliki kebenaran dan bersatu pada level kebenaran.[19]
2. Augustino Steuco
Augustino Steuco lahir di kota pegunungan
Umbrian di daerah Gubbio antara tahun
1497 atau awal kelahirannya tahun 1512 atau 1513 dan menetap hingga tahun 1517. Selanjutnya pada tahun
1518-1552 sebagian waktunya digunakan untuk mengikuti perkuliahan di
Universitas Bologna. Di situlah ia mulai tertarik pada bidang bahasa dengan
banyak belajar bahasa Aram[20],
Syiria, Arab dan Etiopia disamping bahasa
Yunani. Steuco adalah sarjana al Kitab
dan seorang teolog. Dalam banyak hal ia
mewakili sayap liberal teolog Katolik dan studi skriptual abad XVI. Karya karya
seperti Cosmopedia (1545) dan De Perenni Philosophia jelas menunjukkan pandangan yang liberal, yang
mencoba untuk mensejajarkan antara
berbagai tradisi filsafat pagan dengan tradisi ortodoks, akan tetapi disisi lain pandangan konservatifnya juga tetap
tampak dengan ketegarannya menolak
ajaran Calvin, terutama Martin Luther. Steuco menganggap ajaran tradisi agama-agama pagan dan non Kristen
lebih dapat diterima daripada ajaran
pada pembaharu, Lutherianisme.
Karya paling termasyhur dari Steuco adalah De
Perenni Philosophia, karya yang mendapat
sambutan hangat dikalangan pemikir hingga dua abad kemudian. Pada abad XVI buku tersebut mendapat
penghargaan yang sedemikian tinggi
sehingga Kaspevon Barth (1587-1658) menyebutnya sebagai “A Golden Book” dan Daniel George
Marhof (1639-1691) merujuknya sebagai
“Opus Admirable” namun kemasyhuran itu berangsur angsur mulai dilupakan hingga
kemudian Willman menemukannya kembali pada akhir abad XIX.
Kunci pemikiran filsafat Steuco terlihat pada
pandangannya bahwa terdapat “prinsip
tunggal dari segala sesuatu” yang satu dan selalu sama dalam pengetahuan manusia. Menurut Steuco agama
merupakan kemampuan alamiah manusia
untuk mencapai kesejatian. Agama merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk menjadi manusia, dan merupakan
vera philosophia (fisafat sejati), yaitu filasafat yang mengarah kepada
kesalehan dan kontemplasi pada Tuhan.
Filsafat dan agama yang sejati selalu mendorong untuk menjadi subyek Tuhan melakukan apa yang Tuhan inginkan
dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya,
hingga menjadi “seperti” Tuhan.
3. Frithjof Schuon
Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss
tahun 1907 dan mendapat pendidikan di
Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di jurnal berbahasa Perancis Etades
Traditionelles dan jurnal Connaisance des Religion, Comparative Religion. Karya-karya Schuon yang terkenal antara lain
adalah The Transenden
Unity of Religion, Islam and The Perennial
Philosophy, Language of the Self[21],
juga Esoterism As Principle And As Way sebuah buku yang membahas tentang “Sophia Perennis” kehidupan spiritual
dan moral, serta tentang estetika dan
sufisme, yang ia sebut sebagai “agama hati”.
Frithjof Schuon berpendapat bahwa metafisika
keagamaan atau filsafat Perenial tidak
terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi mata rantai tradisional
termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio
perenis, agama yang bersifat abadi. Filsafat
perenial memahami agama dalam realitasnya yang paling transenden atau metafisika yang bersifat transenden
historis, bukan hanya agama dalam kenyataan
faktual saja.
4. Ananda K. Coomaraswamy
Ananda K. Coomaraswamy, dilahirkan di Cylon
(Srilanka) tahun 1877 dari seorang ibu
keturunan Inggris dan ayah Hindu. Ia dibesarkan dan mendapat pendidikan di Inggris dan lulus dari
Universitas London dibidang botani dan
geologi. Seluruh hidupnya yang didedikasikan untuk studi dan eksposisi dari
India budaya dan seni.[22]
Ia banyak meneliti makna seni yang sakral
dari Timur pada umumnya dan seni Hindu dan Budha pada khususnya, lalu ia tulis dalam bahasa Inggris untuk
konsumsi barat.
Coomaraswamy mengidentikkan philosophia
perennis dengan tradisi. Tokoh ini
banyak melakukan serangan terhadap filsafat dalam berbagai segi, guna
memberikan dasar yang bersih bagi penghadiran metafisika sejati, serta mencegah adanya distorsi atau deviasi
kebingungan antara filsafat profan dengan
pengetahuan sakral. Coomaraswamy memahami istilah ad-din (ikatan) merupakan ikatan seorang manusia dengan
Tuhannya, yang lebih difahami sebagai tradisi dan karakter manusia primordial.
Hanya kepada Tuhan manusia pantas tunduk, oleh karena itu manusia adalah
sebaik-baik ciptaan.[23]
Sebagai
metafisikawan dan kosmolog, Coomaraswamy menghasilkan banyak buku, yang ia gambarkan secara bebas
dari Hindu, budha dan sumber sumber islam, begitu juga dari Plato, plotinus,
Sionisyus, Dante, Engena, Ekhart,
Boehme, Blake dan wakil tradisi Barat lainnya. Coomaraswamy menekankan kesatuan kebenaran yang terletak
pada jantung semua tradisi, yang ia
tuangkan dalam Paths That Lead to the Same summit.
Karya-karya yang lain misalnya tentang tradisi
Hindu dan Budha adalah “Hinduism and Buddhism”. Karya metafisika secara murni
adalah Recollection, Indian and
platonic, on the One and Only Transmigrant, dan lain sebagainya.
5. Sayyed Hossein Nasr
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf dan
mistikus yang dilahirkan pada tahun 1933
di Teheran, ia dikenal sebagai salah satu cendekiawan muslim yang mempunyai wawasan
sangat kaya tantang khasanah islam.
Karyanya yang sangat terkenal adalah “Science and Civilization in islam”, sebuah buku yang
diangkat dari disertasinya tentang sejarah
sains.
Nasr mengatakan bahwa filsafat perenial adalah
pengetahuan yang selalu ada dan akan ada yang bersifat universal. “Ada” yang
dimaksud adalah berada pada setiap jaman dan setiap jaman dan setiap tempat
karena prinsipnya yang universal.
Pengetahuan yang diperoleh melalui intelektualitas ini terdapat dalam inti semua agama dan
tradisi. Realisasi dan pencapaiannya hanya
mungkin dilakukan melalui metode-metode, ritus-ritus, simbol-simbol, gambar-gambar dan sarana-sarana lain yang
disucikan oleh asal ilahiah atau (divine
original) yang menciptakan setiap tradisi.
Ketertarikannya kepada tradisi mulai muncul,
ketika ia bertemu sejarawan sains Giogio
de Santillana, yang kemudian memperkenalkannya kepada literatur tentang Hinduisme karya Rene
Guenon. Dari Guenon, jalan ke para
tradisionalis lain terbuka: Coomaraswamy, Schuon, dan sebagainya.
Di Tehran ia menjumpai fukaha yang menganggap
filsafat sebagai ilmu kafir. Di saat
inilah ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional Islam di madrasah. Ia menjalani pendidikan ini
selama 10 tahun, di bawah bimbingan
beberapa ulama terkenal, di antaranya Allamah Thabathaba’i. Hingga tahun 1978, belasan buku ditulisnya. Di
antaranya yang telah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia adalah Sains dan Peradaban dalam Islam, Tiga Pemikir Islam, dan Tasawuf Dulu dan
Sekarang.
Dalam masa 20 tahun, karirnya pun menanjak
cepat. Buku-buku monumental seperti 2
jilid Islamic Spirituality dan History of Islamic Philosophy, serta ratusan artikel lain telah
ditulisnya. Tak ketinggalan adalah kaset
dan CD pembacaan puisi-puisi Rumi. Hingga akhirnya, puncak pengakuan akan capaian filsafat Profesor
Kajian Islam di Universitas George Washington ini diperolehnya sebagai tokoh
dalam The Library of Living Philosophers.[24]
Tokoh-tokoh yang disebut diatas adalah
tokoh-tokoh yang memiliki corak
pemikiran sejalan dengan filsafat perenial atau perenialisme. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa Perenialisme bukan merupakan suatu
aliran baru dalam filsafat, dalam arti perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
menyususn filsafat baru, yang berbeda
dengan filsafat yang telah ada.
Secara maknawi teori perenialisme sudah ada
sejak zaman filosof abad kuno dan
pertengahan. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, konsep perenialisme dalam pendidikan dilatar belakangi
oleh filsafat-filsafat Plato sebagai bapak idealisme klasik, filsafat
Aristoteles sebagai bapak realisme klasik,
dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja
Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).[25]
1. Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 sM.
dan meninggal pada tahun 347 sM. dalam
usia 80 tahun. Ia dibesarkan dalam keluarga bangsawan Athena yang kaya raya[26],
sebuah keluarga Aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam
politik Athena.[27]
Ayahnya Ariston mengaku keturunan raja
Athena, ibu Plato, Periction, adalah keturunan keluarga Solon[28], seorang
pembuat undang-undang, penyair, pemimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri
demokrasi Athena yang terkemuka.[29]
Plato adalah filsuf idealis, ia memandang
dunia ide sebagai dunia kenyataan. Pokok
pikiran plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal
yang abadi dan sempurna. Yakni idea,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan.
Maka tujuan pendidikan adalah ”membina
pemimpin yang sadar” dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Prinsip-prinsip Plato dalam Pendidikan nampak
pada pemikirannya tentang tujuan hidup
adalah untuk mencari kebenaran universal. Sehingga tujuan pendidikan adalah mengembangkan daya
pikiran individu yang bermuara pada
penemuan kebenaran bukan ketrampilan praktis. Pemikiran in muncul karena Plato tidak sejalan dengan
mayoritas kaum sophis pada waktu yang –menganggap - pengajaran pada mahasiswa
kurang tepat.[30]
Menurut Plato, manusia secara kodrati memilki
tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada tiga potensi itu dan juga
kepada masyarakat. Agar supaya kebutuhan yang ada pada masyarakat dapat
terpenuhi.[31]
Ketiga potensi ini merupakan dasar kepribadian manusia. Karena itu struktur
sosial didasarkan atas dasar pandangan kepribadian ini. Dengan pertimbangan
ketiga potensi itu tidak sama pada
setiap individu, berikut penjelasannya :
1. Manusia yang besar potensi rasionya, inilah
manusia kelas pemimpin, kelas sosial tertingi.
2. Manusia yang dominan potensi kemauannya, ialah
manusia prajurit, kelas menengah.
3. Manusia yang dominan potensi nafsunya, ialah
rakyat jelata, kaum pekerja.[32]
2. Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira ,suatu kota
kecil di semenanjung Kalkidike di Trasia
(Balka) pada tahun 384 sM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 sM. Bapaknya bernama Nichomachus, seorang
dokter istana yang merawat Amyintas II raja Macedonia.[33] Sejak kecil ia mendapat asuhan dan keilmuan langsung dari ayahnya sendiri sampai berumur
18 tahun. Setelah ayahnya meninggal ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato
di Akademia selama 20 tahun.[34]
Ide-ide Plato dikembangkan oleh Aristoteles
dengan lebih mendekatkan pada dunia
kenyataan. Aristoteles terutama menitikberatkan pembinaan berfikir melalui
media sciences.[35]
Pandangan Aristoteles lebih realis dari
pandangan Plato, hal ini dikarenakan cara belajar kepada ayahnya yang lebih menekankan pada metode
pengamatan.
Aristoteles menganggap pembinaan kebiasaan
sebagai dasar. Terutama dalam pembinaan
kesadaran disiplin atau moral, harus melalui proses permulaan dengan kebiasaan di waktu muda.
Secara ontologis, ia menyatakan bahwa
sifat atau watak anak lebih banyak potensialitas sedang guru lebih banyak
mempunyai aktualitas.[36]
Bagi aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara
seimbang.[37]
3. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Tomas dari Aquino
(1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah
keluarga bangsawan.[38] Ia
mempelajari karya-karya besar Aritoteles
dan ikut serta dalam berbagai perbedaan.
Thomas merupakan seorang tokoh yang sebagian ajarannya menjadi penuntun
perenialisme.[39]
Karyanya yang utama adalah Suma Contra Gentiles dan Summa Theologiae.[40]
Seperti halnya Plato dan Aristoteles tujuan
pendidikan yang diinginkan oleh Thomas
Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif
dan nyata. Tingkat aktif dan nyata yang
timbul ini bergantung dari kesadaran-kesadaran yang dimiliki oleh tiap-tiap
individu.[41]
Dalam hal ini peranan guru mengajar dan memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada padanya.
Aquinas juga mengakui potensi martabat manusia
sebagai makhluk intelek sekaligus
sebagai makhlik susila. Manusia dapar melakukan reflective thinking tetapi juga manusia tak mungkin
menolak dogma sebagai divine truth yang tidak rasional, melainkan supernasional.[42]
2.5 Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme
Dibidang pendidikan, perennialisme
sangat dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas.
Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni
ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi
ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan
adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu
dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itudan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato
itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia kenyataan.
Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek harus dikenbangkan
secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato
dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai
”Usaha mewujutkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas”
aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan
pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip pendidikan perenialisme
tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti
pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan
pendidikan orang dewasa.[43]
2.6 Pandangan-Pandangan Aliran Perenialisme
a. Pandangan tentang realita (ontologis)
Peremialisme memandang bahwa realita
itu bersifat universal dan ada dimana saja, juga sama disetiap waktu. Inilah
jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk
realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau pristiwa-pristiwa
yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[44]
Relitas bersumber dan bertujuan
akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas supernatural). Relitas mempunyai
watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme).
Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting. Contohnya, batu, rumput,
orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Didalam
individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident).
Contohnya, batu yang kasar atau halus, sapi yang gemuk, orang berbakat
olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas tersebut terdapat sifat asasi sebagai
identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita yang embedakan dia dari jenis
yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad adalah mahluk berfikir. Esensi
tersebutmembedakan Ahmad sebangai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan.
Inilah yang universal dimana pun ada dan sama disetiap waktu.[45]
Ontologi perennialisme terdiri dari
pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi.
Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut
istilah ini. Benda individual disini adalah benda sebagaimana nampak dihadapan
manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput,
orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari
esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus
yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan
esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus,
sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya
partikular dan uni versal, material dan spiritual.[46]
b. Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang
terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah
hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian mengenai
kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap
kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata.
Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia
merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang
tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan
menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya
terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode
deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat
self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak
asasi.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang
logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada
prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles diatas.[47]
c. Pandangan tentang nilai (Axiologi)
Pandangan tentang hakikat nilai
menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual.
Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karna itu
nilai selalu bersifat teologis. Menurut perenialisme, hakikat manusia juga
menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama
tergantung pada jiwanya. Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual.
Hakikat manusia adalah emansipasi
(pancaran) yang potensial lang yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan, dan
atas dasar inilah tujuan baik buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang
didukung haruslah teologis.[48]
d. Pandangan tentang pendidikan
a.
Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as
cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan
tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat
dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas,
perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal
dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah
kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu,
pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu
sendiri.
b.
Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai
kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan
pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta
didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi
agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
c.
Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat
latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya
kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan
mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan.
Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana
peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial
budaya.
d.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat
subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus
bersifat uniform, universal dan abadi, selain itumateri pelajaran terutama harus
terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat
manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran
yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
e.
Metode
Metode pendidikan atau metode
belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu
membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the great books
dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
f.
Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara
dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami
proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi
self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas
murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior
dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect
knowladge.[49]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Merupakan terapan dari filsafat
umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan
akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran
manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini dua aliran-aliran
dalam filsafat pendidikan.
Perenialisme diambil dari kata
perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English
diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a
very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme lahir pada tahun
1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialsme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak
pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan
sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.
3.2 Saran
Keterbatasan
informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab
adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis
khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI
AKSARA, 2008
Drs,
Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA, 2009
Dinn
Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka,
2010
Drs.
Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
PROF.
DR. A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt
Remaja Rosdakarya, 2008
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2016/10/10/filsafat-pendidikan/
http://luphypamali.blogspot.com/2016/10/perenialisme.html
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2016/10/10/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan/
http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme
http://dadanggani.blogspot.com/2016/10/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html
[2] Lihat pengantar
Sayyed Hossein Nasr dalam buku Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, Op. Cit 7
[3] Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 40
[4] Arqom Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial Perenial
: Refleksi Pluralisme Agama Di Indonesia, (Yogyakarta :
Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2006) 10
8 Komaruddin dan
Nafis, Op. Cit 40
[10] Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 40
[13]Di Download pada tanggal, 10Oktober 2016,
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/
[14]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016,
http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/perenialisme.html
[16] Aldous Huxley,Op. Cit. 4
[18] Mulyadi Kartanegara, Op. Cit 174
[19] Robin Waterfield, Rene Guenon and The Future
of the West : The Life and The Writing of 20 th Century (http://www.rikers.org/2008/06/rene-guenon-fr ithjof
-Schuon.html) 4 Agustus 2009
[20] Bahasa ini pernah menjadi bahasa pemerintahan
berbagai kekaisaran serta bahasa untuk upacara keagamaan. bahasa Aram tergolong dalam rumpun bahasa Afro-Asia dan
bagian dari grup bahasa Semitik Barat Laut yang juga
termasuk bahasa Kanaan (seperti bahasa Ibrani)
[21] Arqom Kuswanjono, Op. Cit 19
[24]
Zainal Abidin Bagir, Philosophia Perennis Menurut Hosein Nasr ( di akses 9 Juli 2009) http://ecfunpar.multiply.com/journal/item/3
[26] T. Z. Lavire, Plato (Yogyakarta : Jendela,
1991 ) 1
[27] Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani (Jakarta :
UI Press, 1986) 80
[29]
Samuel Smith, Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh Dalam Bidang Pendidikan,
(Jakarta : Bumi Aksara, 1986) 29
[30] Ibid
[31]
Zuhairini, Op. Cit 28
[32] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan
Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional, 1998) 321
[34] Zuhairini,Op. Cit 115
[35] Mohammad Noor Syam, Op. Cit 321
[36] Ibid, 321
[37] Uyoh Sadulloh, Op. Cit
[38] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
1(Yogyakarta : Kanisius, 1989) 104
[39] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem Dan
Metode, (Yogyakarta : Andi Offset, 1997)
[40] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) 98
[41] Imam Barnadib, Op. Cit 73
[42] Mohammad Noor Syam, Op. Cit. 305
[46]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016,
http://kukuhsilautama.word
press.com/2011/03/31/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan
[47]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016,
http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar