Kamis, 30 Maret 2017

makalah filsafat pendidikan perenialisme

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala limpahan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Dorongan dari orang tua kami dan juga tidak lupa dukungan dan kerja sama dari teman-teman kami yang begitu besar sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Makalah Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme ini dengan tepat waktu. Sehingga penulis mengucapkan banyak terimakasih untuk semuanya.
Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. Zaimudin. M.Ag, Selaku dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.



Tangerang Selatan, 10 Oktober 2016


                                                                                             Tim Penyusun


DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
1.1        Latar Belakang.................................................................................... 4
1.2        Rumusan Masalah............................................................................... 4
1.3        Tujuan Penulisan................................................................................. 5
1.4        Manfaat Penulisan............................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 4
2.1    Pengertian Perennialisme.................................................................... 6
2.2    Sejarah Perkembangan Aliran Perennialisme...................................... 9
2.3    Konsep Pemikiran Perenialisme........................................................ 10
2.4    Tokoh-Tokoh Aliran Perennialisme................................................... 12
2.5    Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme......................................... 20
2.6    Pandangan-Pandangan Aliran Perenialisme...................................... 21
BAB III PENUTUP............................................................................................. 27
3.1    Kesimpulan....................................................................................... 27
3.2    Saran................................................................................................. 27
Daftar Pustaka....................................................................................................... 28




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Aliran perennialisme merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini aliran perennialisme dalam filsafat pendidikan.
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacauan, ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aliran perennialisme?
2.      Bagaimana sejarah aliran perennialisme?
3.      Bagaimana aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Aliran Filsafat Pendidikan Perennialismedengan perumusan masalah di atas adalah :
1.      Menjelaskanpengertian aliran perennialisme.
2.      Menjelaskan sejarah perkembangan aliran perennialisme.
3.      Menjelaskan aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan.

1.4    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan . Serta menambah pengetahuan tentang Aliran Filsafat Pendidikan Perennialismeyang diharapkan sangat bermanfaat bagi banyak orang yang membaca makalah ini.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal.[1]Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan  untuk pertama kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540.[2] Istilah  tersebut dimasyhurkan oleh Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715  yang menegaskan pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.[3]
Sebagaimana diungkapkan oleh Leibniz filsafat perenial merupakan metafisika yang mengakui realitas ilahi yang substansial bagi dunia benda-benda,  hidup dan pikiran ; merupakan psikologi yang menemukan sesuatu yang sama di  dalam jiwa dan bahkan identik dengan realitas ilahi. Unsur-unsur filsafat perenial  dapat ditemukan pada tradisi bangsa primitif dalam setiap agama dunia dan pada  bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh pada setiap hal dari agama-agama yang lebih tinggi.[4]
Istilah perenial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan, wujud yang absolut,  sumber dari sagala sumber. Kedua, membahas fenomena pluralisme agama secara  kritis dan kontemplatif. Ketiga, berusaha menelusuri akar-akar religiusitas  seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol serta pengalaman keberagamaan.[5]
Ada perbedaan pandangan diantara para tokoh berkenaan dengan awal  kemunculan filsafat perenial. Satu pendapat mengatakan bahwa istilah filsafat  perenial berasal dari Leibniz, karena istilah itu digunakan dalam surat untuk  temannya Remundo tertanggal 26 Agustus 1714, meskipun demikian Leibniz tidak pernah menerapkan istilah tersebut sebagai nama terhadap sistem filsafat siapapun termasuk sistem filsafatnya sendiri.[6]
Kemudian pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial Philosophi.[7] Pandangan lain yang menyangkal pendapat ini telah menunjukkan bukti bahwa jauh sebelum tanggal tersebut Augustino Steucho  (1490-1518) telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul “De Perenni  Philosophia” pada tahun 1540. Buku tersebut merupakan upaya untuk  mensintesiskan antara filsafat, agama, dan sejarah berangkat dari sebuah tradisi  filsafat yang sudah mapan. Karya Steuchus De Perenni Philosophia telah  mempengaruhi banyak orang, antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficino, filsafat  perenial disebutnya sebagai filsafat kuno yang antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang berarti filsafat atau teologi kuno yang terhormat.[8]
Steuco menggunakan istilah perenni untuk menyebut sistemnya sendiri  yang sudah mapan dan kompleks. Dalam konteks ini istilah perenial dapat dipahami dalam dua arti : pertama, sebagai suatu nama dari suatu tradisi filsafat  tertentu, kedua, sebagai sifat yang menunjuk pada filsafat yang memiliki keabadian ajaran, apapun namanya.[9]
Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus  atau Leibniz, agama hindu telah membicarakannya dalam istilah yang disebut  Sanatana Darma. Demikian juga di kalangan kaum Muslim, mereka telah  mengenalnya lewat karya ibnu Miskawaih (932-1030), al-Hikmah al-Khalidah  yang telah begitu panjang lebar membicarakan filsafat perenial. Dalam buku itu,  Miskawaih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang orang suci dan para filosof, termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia Kuno, India, dan Romawi.[10]
Meminjam istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat perennial juga bisa disebut  sebagai tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud  adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek dan percabangannya. Disebut  al-sunnah karena perennial mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral  yang sudah menjadi kebiasan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional.  Disebut al-silsilah karena perennial juga merupakan rantai yang mengaitkan  setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional  kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas dalam dunia tasawuf.  Dengan demikian filsafat perenial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian  mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.[11]
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada kebudayaan masa lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya.
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu (a) perennialisme yang theologis – bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasipada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[12]

2.2    Sejarah Perkembangan Aliran Perennialisme
Aliran perennialisme lahir pada abad kedua puluh. Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.[13]
 Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini. Teori atau konsep pendidikan perennialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang merupakan bapak edialime klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) greja katolik yang tumbuh pada zamannya (abat pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perennialisme. Namun, mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerengka sejalan pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya . dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak perkembanganfilsafat perenial jauh lebih tampak
Dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ni mendafat eleborasi sistem dari para perenialis barat, seperti Agostino Steunco. Namun, filsafat perenial atau yang sering disebut sebagai kebijaksanaan univeral, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai rumtuh menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dimonan adalah perkembangan yang pesat dari pilsafat materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
Memasuki abad ke-18, karena pengaruh filsafat materialis, bayak aspek relita yang diabaikan, dan yang tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada tia-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman kontemporer. Dan zaman kontemporer inilah dapat dikatakan zama kebangkitan filsafat perennialisme.[14]
2.3    Konsep Pemikiran Perenialisme
Filsafat perenial dikatakan juga sebagai filsafat keabadian, sebagaimana  dikatakan oleh Frithjof Schuon “philosophi perennis is the universal gnosis wich  always has existed and always be exist” (filsafat perenial adalah suatu pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya).[15]
Filsafat Perenial sebagai suatu wacana intelektual, yang secara popular muncul beberapa dekade ini, sepenuhnya bukanlah istilah yang baru.16 Filsafat  Perennial cenderung dipengaruhi oleh nuansa spiritual yang kental. Hal ini  disebabkan oleh tema yang diusungnya, yaitu  “hikmah keabadian” yang hanya  bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ia dibicarakan oleh agama. Makanya  tidak mengherankan baik di barat maupun Islam, bahwa lahirnya filsafat perennial  adalah hasil telaah kritis para filosof yang sufi (mistis) dan sufi (mistis) yang  filosof pada zamannya.
Kemudian pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial Philosophi. Ia menyebutkan, bahwa filsafat perenial mengandung tiga pokok pemikiran : 1) Metefisika yang memperlihatkan sesuatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu. 2) Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu yang ada dalam jiwa manusia. 3) Etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat transenden.[16]
Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, sebagaimana yang telah  dijelaskan Huxley “Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara  legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam masyarakat primitif di seluruh  penjuru dunia. Suatu versi dari kesamaan tertinggi dalam teologi-teologi dulu dan  kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, dan sejak  itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut  pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan Eropa.”   Jadi, jelas, bahwa tema utama hikmah abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi  yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang  terekspresikan dalam bentuk ‘hakikat-hakikat eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda.
Kaum perenialis amat menekankan tradisi kesejarahan. Secara historis,  perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka  menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu  yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,  ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual  dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan  ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan  teruji.
2.4    Tokoh-Tokoh Aliran Perennialisme
Para tokoh filsafat perenial tidak sepopuler filsuf-filsuf pada tradisi filsafat  yang lain, meskipun sesungguhnya pemikiran yang mereka sampaikan  memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran masyarakat dan para filsuf lain  pada saat itu.
1. Rene Guenon
Rene Guenon dan muridnya seperti Frithjof Schuon merupakan  generasi baru intelektual Barat yang telah tersadar dari kematian spiritual  Barat, lalu mencoba merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai  pandangan dunia alternatif bagi filsafat materialistik Barat.  
Rene Guénon (1886-1951) yang adalah tokoh filsafat perenial, masuk  ke sekolah Gérard Encausse di Prancis. Ia mendirikan Free School of  Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang mengkaji tentang mistisisme. Selama  berada di Prancis ia tidak hanya aktif mengikuti berbagai kajian mistis, namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh freemason[17], teosofi dan berbagai  gerakan spiritual yang lain. Karyanya antara lain berjudul The Crisis Of The Modern Word, sebuah buku yang melukiskan krisis manusia modern.[18]
Guenon menghidupkan kembali nilai-nilai hikmah, kebenaran abadi  yang ada pada tradisi lama. Ia menyebutnya sebagai primordial tradition (tradisi primordial). Guenon awalnya katolik selanjutnya memeluk islam pada  tahun 1912 nama Islamnya Abdul Wahid Yahya. Namun begitu, selama  kehidupannya di Prancis, Guenon tidak dikenal telah mempraktekkan Islam.
Buah pemikiran Guenon antara lain adalah pendapatnya mengenai  ilmu. Ia berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang  spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga namun ia hanya bermakna dan  bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guenon, substansi  dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut  adalah universal. Oleh sebab itu ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu  kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua semua tradisi  primordial. Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang  berbeda untuk merealisasikan kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja  karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami  realitas. Pengalaman spiritual Guenon dalam gerakan teosofi dan freemason  mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada level kebenaran.[19]
2. Augustino Steuco
Augustino Steuco lahir di kota pegunungan Umbrian di daerah Gubbio  antara tahun 1497 atau awal kelahirannya tahun 1512 atau 1513 dan menetap  hingga tahun 1517. Selanjutnya pada tahun 1518-1552 sebagian waktunya digunakan untuk mengikuti perkuliahan di Universitas Bologna. Di situlah ia mulai tertarik pada bidang bahasa dengan banyak belajar bahasa Aram[20],
Syiria, Arab dan Etiopia disamping bahasa Yunani.  Steuco adalah sarjana al Kitab dan seorang teolog. Dalam banyak hal  ia mewakili sayap liberal teolog Katolik dan studi skriptual abad XVI. Karya karya seperti Cosmopedia (1545) dan De Perenni Philosophia jelas  menunjukkan pandangan yang liberal, yang mencoba untuk mensejajarkan  antara berbagai tradisi filsafat pagan dengan tradisi ortodoks, akan tetapi disisi  lain pandangan konservatifnya juga tetap tampak dengan ketegarannya  menolak ajaran Calvin, terutama Martin Luther. Steuco menganggap ajaran  tradisi agama-agama pagan dan non Kristen lebih dapat diterima daripada  ajaran pada pembaharu, Lutherianisme.
Karya paling termasyhur dari Steuco adalah De Perenni Philosophia,  karya yang mendapat sambutan hangat dikalangan pemikir hingga dua abad  kemudian. Pada abad XVI buku tersebut mendapat penghargaan yang  sedemikian tinggi sehingga Kaspevon Barth (1587-1658) menyebutnya  sebagai “A Golden Book” dan Daniel George Marhof (1639-1691)  merujuknya sebagai “Opus Admirable” namun kemasyhuran itu berangsur angsur mulai dilupakan hingga kemudian Willman menemukannya kembali pada akhir abad XIX.
Kunci pemikiran filsafat Steuco terlihat pada pandangannya bahwa  terdapat “prinsip tunggal dari segala sesuatu” yang satu dan selalu sama dalam  pengetahuan manusia. Menurut Steuco agama merupakan kemampuan  alamiah manusia untuk mencapai kesejatian. Agama merupakan syarat mutlak  bagi manusia untuk menjadi manusia, dan merupakan vera philosophia (fisafat sejati), yaitu filasafat yang mengarah kepada kesalehan dan kontemplasi pada  Tuhan. Filsafat dan agama yang sejati selalu mendorong untuk menjadi  subyek Tuhan melakukan apa yang Tuhan inginkan dan meninggalkan apa  yang dilarang-Nya, hingga menjadi “seperti” Tuhan.
3. Frithjof Schuon
Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat  pendidikan di Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap  di jurnal berbahasa Perancis Etades Traditionelles dan jurnal Connaisance des  Religion, Comparative Religion.  Karya-karya Schuon yang terkenal antara lain adalah The Transenden
Unity of Religion, Islam and The Perennial Philosophy, Language of the Self[21], juga Esoterism As Principle And As Way sebuah buku yang membahas  tentang “Sophia Perennis” kehidupan spiritual dan moral, serta tentang  estetika dan sufisme, yang ia sebut sebagai “agama hati”.
Frithjof Schuon berpendapat bahwa metafisika keagamaan atau filsafat  Perenial tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi mata rantai tradisional termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang  menjadikan setiap agama bersifat religio perenis, agama yang bersifat abadi.  Filsafat perenial memahami agama dalam realitasnya yang paling transenden  atau metafisika yang bersifat transenden historis, bukan hanya agama dalam  kenyataan faktual saja.
4. Ananda K. Coomaraswamy
Ananda K. Coomaraswamy, dilahirkan di Cylon (Srilanka) tahun 1877  dari seorang ibu keturunan Inggris dan ayah Hindu. Ia dibesarkan dan  mendapat pendidikan di Inggris dan lulus dari Universitas London dibidang  botani dan geologi. Seluruh hidupnya yang didedikasikan untuk studi dan eksposisi dari India budaya dan seni.[22] Ia banyak meneliti makna seni yang  sakral dari Timur pada umumnya dan seni Hindu dan Budha pada khususnya,  lalu ia tulis dalam bahasa Inggris untuk konsumsi barat. 
Coomaraswamy mengidentikkan philosophia perennis dengan tradisi.  Tokoh ini banyak melakukan serangan terhadap filsafat dalam berbagai segi, guna memberikan dasar yang bersih bagi penghadiran metafisika sejati, serta  mencegah adanya distorsi atau deviasi kebingungan antara filsafat profan  dengan pengetahuan sakral. Coomaraswamy memahami istilah ad-din (ikatan)  merupakan ikatan seorang manusia dengan Tuhannya, yang lebih difahami sebagai tradisi dan karakter manusia primordial. Hanya kepada Tuhan manusia pantas tunduk, oleh karena itu manusia adalah sebaik-baik ciptaan.[23]
 Sebagai metafisikawan dan kosmolog, Coomaraswamy menghasilkan  banyak buku, yang ia gambarkan secara bebas dari Hindu, budha dan sumber sumber islam, begitu juga dari Plato, plotinus, Sionisyus, Dante, Engena,  Ekhart, Boehme, Blake dan wakil tradisi Barat lainnya. Coomaraswamy  menekankan kesatuan kebenaran yang terletak pada jantung semua tradisi,  yang ia tuangkan dalam Paths That Lead to the Same summit.
Karya-karya yang lain misalnya tentang tradisi Hindu dan Budha adalah “Hinduism and Buddhism”. Karya metafisika secara murni adalah  Recollection, Indian and platonic, on the One and Only Transmigrant, dan lain  sebagainya.
5. Sayyed Hossein Nasr
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf dan mistikus yang  dilahirkan pada tahun 1933 di Teheran, ia dikenal sebagai salah satu  cendekiawan muslim yang mempunyai wawasan sangat kaya tantang  khasanah islam. Karyanya yang sangat terkenal adalah “Science and  Civilization in islam”, sebuah buku yang diangkat dari disertasinya tentang  sejarah sains.
Nasr mengatakan bahwa filsafat perenial adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan ada yang bersifat universal. “Ada” yang dimaksud adalah berada pada setiap jaman dan setiap jaman dan setiap tempat karena  prinsipnya yang universal. Pengetahuan yang diperoleh melalui intelektualitas  ini terdapat dalam inti semua agama dan tradisi. Realisasi dan pencapaiannya  hanya mungkin dilakukan melalui metode-metode, ritus-ritus, simbol-simbol,  gambar-gambar dan sarana-sarana lain yang disucikan oleh asal ilahiah atau  (divine original) yang menciptakan setiap tradisi.
Ketertarikannya kepada tradisi mulai muncul, ketika ia bertemu  sejarawan sains Giogio de Santillana, yang kemudian memperkenalkannya  kepada literatur tentang Hinduisme karya Rene Guenon. Dari Guenon, jalan  ke para tradisionalis lain terbuka: Coomaraswamy, Schuon, dan sebagainya. 
Di Tehran ia menjumpai fukaha yang menganggap filsafat sebagai  ilmu kafir. Di saat inilah ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional  Islam di madrasah. Ia menjalani pendidikan ini selama 10 tahun, di bawah  bimbingan beberapa ulama terkenal, di antaranya Allamah Thabathaba’i.  Hingga tahun 1978, belasan buku ditulisnya. Di antaranya yang telah  diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Sains dan Peradaban dalam Islam,  Tiga Pemikir Islam, dan Tasawuf Dulu dan Sekarang.
Dalam masa 20 tahun, karirnya pun menanjak cepat. Buku-buku  monumental seperti 2 jilid Islamic Spirituality dan History of Islamic  Philosophy, serta ratusan artikel lain telah ditulisnya. Tak ketinggalan adalah  kaset dan CD pembacaan puisi-puisi Rumi. Hingga akhirnya, puncak  pengakuan akan capaian filsafat Profesor Kajian Islam di Universitas George Washington ini diperolehnya sebagai tokoh dalam The Library of Living Philosophers.[24]
Tokoh-tokoh yang disebut diatas adalah tokoh-tokoh yang memiliki  corak pemikiran sejalan dengan filsafat perenial atau perenialisme.  Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perenialisme bukan  merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti perenialisme bukanlah  merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyususn filsafat baru, yang  berbeda dengan filsafat yang telah ada.
Secara maknawi teori perenialisme sudah ada sejak zaman filosof abad  kuno dan pertengahan. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, konsep  perenialisme dalam pendidikan dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai bapak idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme  klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat  Aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).[25]
1. Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 sM. dan meninggal pada  tahun 347 sM. dalam usia 80 tahun. Ia dibesarkan dalam keluarga bangsawan Athena yang kaya raya[26], sebuah keluarga Aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik Athena.[27] Ayahnya Ariston  mengaku keturunan raja Athena, ibu Plato, Periction, adalah keturunan keluarga Solon[28], seorang pembuat undang-undang, penyair, pemimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena yang terkemuka.[29]
Plato adalah filsuf idealis, ia memandang dunia ide sebagai dunia  kenyataan. Pokok pikiran plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai  adalah manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna. Yakni  idea, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi  ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan pendidikan  adalah ”membina pemimpin yang sadar” dan mempraktekkan asas-asas  normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Prinsip-prinsip Plato dalam Pendidikan nampak pada pemikirannya  tentang tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran universal. Sehingga  tujuan pendidikan adalah mengembangkan daya pikiran individu yang  bermuara pada penemuan kebenaran bukan ketrampilan praktis. Pemikiran in  muncul karena Plato tidak sejalan dengan mayoritas kaum sophis pada waktu yang –menganggap - pengajaran pada mahasiswa kurang tepat.[30]
Menurut Plato, manusia secara kodrati memilki tiga potensi, yaitu  nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada tiga potensi itu dan juga kepada masyarakat. Agar supaya kebutuhan yang ada pada masyarakat dapat terpenuhi.[31] Ketiga potensi ini merupakan dasar kepribadian manusia. Karena itu struktur sosial didasarkan atas dasar pandangan kepribadian ini. Dengan pertimbangan ketiga potensi itu tidak  sama pada setiap individu, berikut penjelasannya :
1.      Manusia yang besar potensi rasionya, inilah manusia kelas pemimpin, kelas sosial tertingi.
2.      Manusia yang dominan potensi kemauannya, ialah manusia prajurit, kelas  menengah.
3.      Manusia yang dominan potensi nafsunya, ialah rakyat jelata, kaum pekerja.[32] 
2. Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira ,suatu kota kecil di semenanjung Kalkidike  di Trasia (Balka) pada tahun 384 sM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322  sM. Bapaknya bernama Nichomachus, seorang dokter istana yang merawat Amyintas II raja Macedonia.[33]  Sejak kecil ia mendapat asuhan dan keilmuan  langsung dari ayahnya sendiri sampai berumur 18 tahun. Setelah ayahnya meninggal ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato di Akademia selama 20 tahun.[34]
Ide-ide Plato dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih  mendekatkan pada dunia kenyataan. Aristoteles terutama menitikberatkan pembinaan berfikir melalui media sciences.[35] Pandangan Aristoteles lebih  realis dari pandangan Plato, hal ini dikarenakan cara belajar kepada ayahnya  yang lebih menekankan pada metode pengamatan. 
Aristoteles menganggap pembinaan kebiasaan sebagai dasar. Terutama  dalam pembinaan kesadaran disiplin atau moral, harus melalui proses  permulaan dengan kebiasaan di waktu muda. Secara ontologis, ia menyatakan  bahwa sifat atau watak anak lebih banyak potensialitas sedang guru lebih banyak mempunyai aktualitas.[36] Bagi aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.[37]
3. Thomas Aquinas 
Thomas Aquinas atau Tomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan.[38] Ia  mempelajari karya-karya besar Aritoteles dan ikut serta dalam berbagai  perbedaan. Thomas merupakan seorang tokoh yang sebagian ajarannya menjadi penuntun perenialisme.[39] Karyanya yang utama adalah Suma Contra Gentiles dan Summa Theologiae.[40]
Seperti halnya Plato dan Aristoteles tujuan pendidikan yang diinginkan  oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada  dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Tingkat aktif dan  nyata yang timbul ini bergantung dari kesadaran-kesadaran yang dimiliki oleh tiap-tiap individu.[41] Dalam hal ini peranan guru mengajar dan memberi  bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada  padanya.
Aquinas juga mengakui potensi martabat manusia sebagai makhluk  intelek sekaligus sebagai makhlik susila. Manusia dapar melakukan reflective  thinking tetapi juga manusia tak mungkin menolak dogma sebagai divine truth yang tidak rasional, melainkan supernasional.[42]
2.5    Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme
Dibidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itudan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek harus dikenbangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai ”Usaha mewujutkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.[43]
2.6    Pandangan-Pandangan Aliran Perenialisme
a. Pandangan tentang realita (ontologis)
Peremialisme memandang bahwa realita itu bersifat universal dan ada dimana saja, juga sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau pristiwa-pristiwa yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[44]
Relitas bersumber dan bertujuan akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas supernatural). Relitas mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme). Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting. Contohnya, batu, rumput, orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Didalam individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident). Contohnya, batu yang kasar atau halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita yang embedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad adalah mahluk berfikir. Esensi tersebutmembedakan Ahmad sebangai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal dimana pun ada dan sama disetiap waktu.[45]
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah benda sebagaimana nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, material dan spiritual.[46]
b. Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.           
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles diatas.[47]
c. Pandangan tentang nilai (Axiologi)
Pandangan tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karna itu nilai selalu bersifat teologis. Menurut perenialisme, hakikat manusia juga menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama tergantung pada jiwanya. Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual.
Hakikat manusia adalah emansipasi (pancaran) yang potensial lang yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang didukung haruslah teologis.[48]
d. Pandangan tentang pendidikan
a.      Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
b.      Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
c.       Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
d.      Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itumateri pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.           
e.       Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
f.       Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.[49]



















BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini dua aliran-aliran dalam filsafat pendidikan.
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialsme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

3.2    Saran
            Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI AKSARA, 2008
Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA, 2009
Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010
Drs. Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
PROF. DR. A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt Remaja Rosdakarya, 2008
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2016/10/10/filsafat-pendidikan/
http://luphypamali.blogspot.com/2016/10/perenialisme.html
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2016/10/10/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan/
http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme
http://dadanggani.blogspot.com/2016/10/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html





[1]Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI AKSARA, 2008, hal 27.
[2]  Lihat pengantar Sayyed Hossein Nasr dalam buku Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, Op. Cit  7
[3]  Komaruddin dan Nafis, Op. Cit  40
[4] Arqom Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial Perenial : Refleksi Pluralisme Agama Di Indonesia, (Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2006)  10 8 Komaruddin  dan Nafis, Op. Cit 40
[5]  Komaruddin  dan Nafis, Op. Cit 40
[6]  Ibid, 10
[7]  Aldous Huxley, Filsafat Perennial, Terjemah : Ali Nur Zaman, ( Yogyakarta : Qolam,  2001) 4
[8]  Komaruddin dan Nafis, Op. Cit.  41
[9] Arqom Kuswanjono, ...Op. Cit 11
[10]  Komaruddin dan Nafis, Op. Cit  40
[11]  Ibid  42
[12]Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28
[13]Di Download pada tanggal, 10Oktober 2016, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/
[14]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016, http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/perenialisme.html
[15]  Arqom Kuswanjono, Op.Cit 10
[16]  Aldous Huxley,Op. Cit.  4
[17]  Sebuah organisasi keagamaan di Perancis
[18]  Mulyadi Kartanegara, Op. Cit  174
[19]  Robin Waterfield, Rene Guenon and The Future of the West : The Life and The Writing of 20 th Century (http://www.rikers.org/2008/06/rene-guenon-fr ithjof -Schuon.html) 4 Agustus 2009
[20]  Bahasa ini pernah menjadi bahasa pemerintahan berbagai kekaisaran serta bahasa untuk upacara keagamaan. bahasa Aram tergolong dalam rumpun bahasa Afro-Asia dan bagian dari grup bahasa Semitik Barat Laut yang juga termasuk bahasa Kanaan (seperti bahasa Ibrani)
[21]  Arqom Kuswanjono, Op. Cit  19
[22]  http://www.southasianmedia.net/profile , diakses tanggal  31-07-2009
[23]  Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 17
[24] Zainal Abidin Bagir, Philosophia Perennis Menurut Hosein Nasr  ( di akses 9 Juli 2009) http://ecfunpar.multiply.com/journal/item/3
[25]  Uyoh Sadulloh, Op. Cit 152
[26]  T. Z. Lavire, Plato (Yogyakarta : Jendela, 1991 ) 1
[27]  Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani (Jakarta : UI Press, 1986) 80
[28]  Seorang sosial liberal tapi bukan seorang revolusioner
[29] Samuel Smith, Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1986) 29
[30]  Ibid 
[31] Zuhairini, Op. Cit  28
[32]  Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional, 1998)  321
[33] Samuel Smith, Op. Cit  35
[34]  Zuhairini,Op. Cit 115
[35]  Mohammad Noor Syam, Op. Cit 321
[36]  Ibid, 321
[37]  Uyoh Sadulloh, Op. Cit
[38]  Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1(Yogyakarta : Kanisius, 1989) 104
[39]  Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem Dan Metode, (Yogyakarta : Andi Offset, 1997)
[40]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) 98
[41]  Imam Barnadib, Op. Cit 73
[42]  Mohammad Noor Syam, Op. Cit. 305
[43]Drs, Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28.29.
[44]Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA, 2009, hal 72.
[45]Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010, hal 4,28.
[46]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016, http://kukuhsilautama.word press.com/2011/03/31/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan
[47]Di Download pada tanggal, 10 Oktober 2016, http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme
[48]Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, … hal 74.
[49]Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, … hal 4.20-4.21.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah kerajaan Demak

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai dari para bangsa Arab, Cina, dan Persia yang ...