Kamis, 30 Maret 2017

Makalahfilsafat islam AL FAROBI


BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Mengkaji filsafat Islam tidak semudah membalikan tangan, ia sarat dengan muatan teologis dan historis. Secara historis, tarik-menarik kepentingan bahwa orintasi filsafat itu berasal dari Yunani atau dari Islam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Begitu pula, dalam tataran teologis, penerimaan filsafat kerap berbenturan antara keimanan dan pemikiran liberal filsafat.
Saling mengklaim antara ilmuan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karyanya terjemahan bahasa Arab, lalu ke dalam bahasa Yahudi dan baru kemudian dalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filafat berasal dari Irak terus ke Mesir dan ke Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ke tangan orang-orang Arab.
Dalam tradisi filsafat, agar bisa sampai pada suatu makna yang esensi dari suatu hal, Seseorang harus melakukan penjelajahan secara radikal, logis dan serius. Itulah sebabnya, Aristoteles memberikan komentar, “Apabila hendak menjadi seorang filsuf, Anda harus berfilsafat dan apabila tidak menjadi seorang filsuf, Anda harus berfilsafat”. Adapun dalam makalah ini penulis akan membahas biografi Al-Farabi dan Pemikiran filsafat Al-Farabi.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan di bahas yaitu:
1. Bagaimana biografi Al-Farabi dan apa saja karyanya?
2. Bagaimana filsafat Al-Farabi?

C. Tujuan/Manfaat

Adapun tujuan/manfaat dari penulisan makalah ini:
1. Mengetahui biografi Al-Farabi dan karya-karyanya.
2. Mengetahui pemikiran filsafat Al-Farabi

BAB II
ISI

A. Biografi Al-Farabi

Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama lengkapnya. Dilahirkan di Utrar. 1 (Farab) pada tahun 257 H/870 M. Dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/ 950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.
Pada masa mudanya, ia pernah belajar bahasa Arab di Baghdad, kemudian belajar logika kepada Abu al-Basyar Matta ibn Yunus, dan belajar filsafat pada Yuhanna ibn Khailan.

Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Al-Farabi pindah dari Utrar ke Baghdad, setelah berusia kurang lebih 50 tahun.
Di Baghdad inilah ia mencapai kematangan yang maksimal. Ia pernah tinggal di Harran dan kemudian kembali ke Baghdad.
Ketika ia berusia 70 tahun, Jenderal Tuzun dari Dailam menyerang ibu kota Kerajaan Abbasiyah dan membunuh khalifah Muttaqi. Karena itu, ia meninggalkan Baghdad untuk selamanya. Selanjutnya, ia pindah ke Aleppo dan tinggal di sana di dalam istana Saif al-Daulah, yang merupakan tempat pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu. Di sini, ia berkonsentrasi dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Kegemaran membaca dan menulisnya luar biasa, dan ia sering melakukannya di bawah sinar lampu penjaga malam. 2 Di istana tersebut, Al-Farabi merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana itu tidak mempengaruhinya, dan dalam pakaian seorang sufi. Al- Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.3
1 Kota ini dulu bernama Wasji, dan sekarang bernama Utrar. Termasuk wilayah Iran, namun belakangan menjadi bagian dari Uzbekistan.
2 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 6
3 M.M Syarif, Terjemahan dari “The Philosophers”, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 58
3
Al-Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filsuf Islam yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya al-Jam‟u Baina Ra‟yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu. Dalam bidang filsafat, ia digelari dengan al-Mu‟allim al-Tsani (Guru Kedua), sedang yang digelari sebagai al-Mu‟allim al-Awwal (Guru Pertama) ialah Aristoteles.
Pada Abad Pertengahan, Al-Farabi sangat terkenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan-salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Eropa. Ibnu Sina pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles, lebih dari empat puluh kali, tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku al-Farabi, Agrad Kitab Ma Ba‟da al-Thabi‟ah (Intisari Buku Metafisika), barulah ia mengerti apa yang selama ia rasakan sangat sukar.4
B. Karya-karyanya
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting, bahkan bila kita mempercayai laporan-laporan beberapa penulis biografi, seperti al-Qifti atau Abi Usaibi’ah jumlah tulisannya itu ialah tujuh puluh buah. Karya-karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan yang lainnya mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagian besar dari naskah-naskah tersebut belum ditemukan. Sedangkan karya kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Sebagian diantaranya telah ditemukan, dan hal ini memperjelas berbagai aspek pemikiran filosofis al-Farabi.
Ibn Khalikan menjelaskan bahwa al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dan Damaskus. Langgam al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Ia secara hati-hati
4 Op.cit., hlm. 7
4
memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataannya sebagaimana ketika ia secara mendalam memikirkan pendapat-pendapatnya dan pemikiran-pemikirannya. Al-Farabi mempunyai langgam yang istimewa, siapa pun terbiasa dengannya akan mengakui hal ini. Ia menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas.5
Diantara buku karangannya ialah :
1. Ilmu Bahasa Arab
2. Ilmu Matematika
3. Ilmu Kimia
4. Ilmu Astronomi
5. Ilmu Kemiliteran
6. Ilmu Musik
7. Ilmu Fisika
8. Ilmu Ketuhanan
9. Ilmu Fiqih
10. Ilmu Manthiq.6
Di samping karya-karya al-Farabi tersebut, ia juga menulis karya-karya lain seperti:
1. Tahshil al-Sa‟adah (Mencari Kebahagiaan)
2. Uyun al-Masa‟i (Pokok-pokok Persoalan)
3. Ara‟ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama, Negeri Utama)
4. Ihsha‟ al-Ulum (Statistik Ilmu)
5. Fushush al-Hikam (Permata Kebijaksanaan).7
C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
1. Metafisika (Ketuhanan)
5 M.M. Syarif, Op.cit., hlm. 60
6 Kahar Mansur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 91
7 M.M Syarif, Op.cit., hlm. 7
5
Penafsiran metafisika Al-Farabi yang paling asuk akal berdasarkan pengamatan-pengamatan ini adalah penafsiran yang belakangan ini diajukan oleh Druart, yang berpendirian bahwa secara pribadi, Al-Farabi menganggap kosmologi emanasional adalah inti dari Neoplatonisme, meskipun ia mengakui bahwa kosmologi tersebut bukan Aristotelian. Emanasi, singkatnya, dipinjam guna mengisi kekosongan yang menurut Al-Farabi terjadi akibat kegagalan Aristoteles menuntaskan catatan tentang bagian metafisika yang berisi teologi atau ilmu tentang Tuhan, yang didalamnya dinyatakan hubungan sebab-akibat antara wujud Ilahi dan alam.
Dilihat dari perspektif ini, teori-teori emanasi Al-Farabi merupakan bagian integral dari sumbangannya bagi pembahasan tentang sifat dan ruang lingkup metafisika dalam filsafat Islam dang hubungannya dengan filsafat alam. Pengaruh Al-Farabi terhadap perkembangan-perkembangan berikutnya dalam bidang ini terbukti dalam suatu episode terkenal dari otobiografi Ibnu Sina, ketika Ibnu Sina menceritakan bagaimana ia telah membaca Metaphysics-nya Aristoteles empat puluh kali, tetapi ia tetap saja bingung, tidak memahami maksudnya. Baru setelah beruntung mendapatkan salinan karya Al-Farabi, Fi Aghrad Al-Hakim Fi Kitab Al-Huruf, kebingungannya itu akhirnya terurai. Meskipun Ibnu Sina tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana risalah pendek Al-Farabi itu benar-benar mengatasi kebuntuan mentalnya, tampaknya Ibnu Sina terpesona oleh catatan-catatan Al-Farabi yang berkenaan dengan hubungan antara Metaphysics-nya Aristoteles dan teologi atau “ilmu Ilahi” [Al-„Ilm Al-Ilahi]. Karena Al-Farabi membuka risalahnya dengan mengemukakan bahwa kendati metafisika Aristotelian sering digambarkan sebagai ilmu Ilahi, teks itu sebenarnya dipersembahkan untuk studi tentang wujud, prinsip-prinsip, dan sifat-sifatnya, bukan studi tentang substansi-substansi terpisah Ilahiah.
Hal itu dibuktikan oleh Al-farabi ketika menjelaskan metafisika (ketuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-maujud al-awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada.8 Konsep ini tidak bertentangn dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam.9 Dalam pembuktian
8 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 87-88
9 Sirajuddin Zar, FILSAFAT ISLAM, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. 1, h. 70
6
adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Wajib al-wujud adalah wujudnya yang tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi wajib al-wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada wajib al-wujud (Allah).10 Contoh: Wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari. Sedangkan cahaya menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak, atau disebut dengan mumkin al-wujud. Akan tetapi karena matahari sudah wujud, cahaya tersebut menjadi wujud keniscayaan. Wujud yang mumkin ini menjadi bukti tentang adanya Allah (wajib al-wujud).11
Pandangan Al-Farabi tentang sifat Tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah, yakni sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Asmaul Husna tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya. Bagi Al-Farabi, Tuhan adalah „Aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi, Tuhan adalah „Aql, „Aqil, dan Ma‟qul (akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan). Demikian pula, Tuhan itu Mahatahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar dzat-Nya untuk tahu dan juga memberitahukan untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi, Tuhan adalah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui („ilm, „alim, dan ma‟lum).12
Sebagaimana filosof Muslim pada umumnya, Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-Quran dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat tersebut
10 Dedi Supriyadi, op.cit, h. 88
11 Sirajuddin Zar, op.cit, h. 71
12 Dedi Supriyadi, op.cit, h. 88-89
7
ialah surat Al-Syura’ ayat 42 dan surat Al-Shaffat ayat 180, tentang asma al-husna, menurut Al-Farabi, kita boleh juga menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya.
2. Emanasi (Pancaran)
Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (Prime cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta yang menciptakan dari tiada menjadi ada. Untuk mengislamkan doktrin ini, Al-Farabi dan filosof Muslim lainnya mencari bantuan pada doktrin Neoplatonisme monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof Muslim kun Allah yang termaktub dalam Al-qur’an ditujukan kepada syai‟ (sesuatu) bukan kepada la syai‟ (nihil).13
Telah ditemukan bahwa Allah adalah „Aql, „Aqil, dan Ma‟qul. Ia sebut Allah adalah „Aql karena Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam, yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikit pun, mestilah Ia suatu substansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab itu, cara Allah menciptakan alam ialah dengan ber-ta‟aqqul terhadap zat-Nya dengan proses sebagai berikut:14
Allah Maha Sempurna, Ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan antara term „aql dan fikr dalam terminologi Al-qur’an, maka terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadinya Akal Pertama (juga memadat dalam bentuk materi).
13 Sirajuddin Zar, op.cit, h. 74.
14 Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1990)
8
Akal Pertama berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kedua dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal Kedua berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Ketiga dan berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Akal Ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Keempat dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal Keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal Kelima berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal Keenam berpikit tentang Allah menghasilkan Akal Ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Matahari. Akal Ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal Kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal Kesembilan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kesepuluh berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan. Akal Kesepuluh, karena daya akal ini sudah lemah, maka ia tidak lagi dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh roh, dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api dan tanah. Akal Kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (Akal Aktif) atau wahib al-Shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara berurutan dalam waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, seperti yang disebutkan, menghasilkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada akal-akal terdapat dua objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian „aniah dan mahiah, tetapi juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal Pertama. Akal Pertama ini mengandung arti banyak, bukan banyak jumlah, tetapi merupakan sebab dari pluralitas. Dari itu Akal Pertama berfungsi sebagai mediator antar yang Esa dan yang
9
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan langsung antara yang Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokkan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-farabi hanya mengalih bahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa Arab. Menurut Nur Kholis Majid, Al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena faham ketuhanan memberikan kesan tauhid.
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi zat {taqaddum zaty). Karena alam dijadikan Allah secara Emanasi sejak Azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia baru.
3. Kenabian
Dasar setiap agama samawi adalah wahyu dan inspirasi. Seorang nabi adalah seorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan diberi kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana agama samawi lainnya memunyai Tuhan sebagai penguasanya. Al-Quran mengatakan: “Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan - Tuhan yang Maha Kuasa telah mengajarny”(Q.S.53: 4-5). Al-Farabi bermaksud memberikan penghormatan kepada kenabian dengan merujukkan agama dengan filasafat dengan landasan psikologi dan metafisika, dan hal itu berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.
Terpengaruh oleh lingkungan politik dan sosialnya, al-Farabi menekankan studi teoritis tentang kemasyarakatan dan kebutuhannya. Ia telah menulis beberapa risalah tentang politik, yang paling terkenal diantaranya adalah “Kota Model”. Al-Farabi menambahkan kepadanya kemampuan berhubungan dengan dunia langit seolah kota dihuni oleh para wali dan diatur oleh seorang nabi. Berhubungan dengan inteligensi agen dimungkinkan melalui dua cara, yaitu perenungan dan inspirasi. Ruh akan naik melalui studi dan pencarian ke tingkat akal yang diperoleh (acquired intellect) ketika ia menjadi penerima cahaya ketuhanan, Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan semangat suci para filosof dan para bijak, yaitu mereka yang dapat
10
melihat kegiatan dan dapat menangkap cahaya dunia, Ia menerima pengetahuan langsung dari Ruh Tertinggi dan para malaikat tanpa perintah manusia pun. Maka, melalui studi-studi spekulatif yang berkesinambungan orang bijak dapat berhubungan dengan inteligensi agen.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi memiliki kedudukan yang penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecenderungan-kecenderungan dan perasaan-perasaan, dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan berdasarkan kemauan, Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan yang merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar di kala tidur atau wahyu di kala jaga. Perbedaan antara keduanya relatif yang terletak pada tingkatannya.
Bila imajinasi telah terlepas dari aktivitas-aktivitas yang dasar seperti dalam tidur, maka ia sepenuhnya ditempati oleh beberapa gejala psikologis. Dengan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan badani tertentu, atau oleh emosi-emosi dan konsepsi-konsepsi tertentu. Ia menciptakan komposisi baru dari gambaran-gambaran mental yang terpertahankan, ia menciptakan bentuk-bentuk baru mereka.
Di dalam daya imajinasi tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga dan para penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke dunia langit dan berhubungan dengan dunia inteligensi agen, sehingga ia bisa menerima keputusan langit tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu. Melalui hubungan ini, yang bisa terjadi siang ataupun malam hari, kenabian dapat diterangkan karena ia merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu. Menurut al-Farabi: “bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi oleh perasaan-perasaan luar … maka ia dapat berhubungan dengan inteligensi agen, yang darinya tercerminlah gambaran-
11
gambara tentang yang paling indah dan sempurna. Begitu daya imajinasi manusia benar-benar sempurna – di kala jaga – mungkin bisa menerima pra-visi, tentang apa yang sedang dan akan terjadi, dari inteligensi agen … dan dengan demikian, melalui apa yang diterimanya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapaioleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.
Jadi, sifat utama seorang nabi ialah memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang melaluinya ia dapat berhubungan langsung dengan inteligensi agen di kala tidur atau jaga, dan dapat mencapai visi dan inspirasi. Adapun wahyu hanyalah suatu pancaran (emanasi) dari Tuhan melalui inteligensi agen. Beberapa orang, meskipun lebih rendah daripada nabi, memiliki daya imajinasi yang kuat, yang melaluinya ia bisa menerima visi dan inspirasi yang tingkatannya juga lebih rendah. Dengan cara ini, al-Farabi menempatkan para wali di bawah para nabi. Imajinasi massa sangat lemah sehingga tidak memungkinkan berhubungan dengan inteligensi agen.
Usaha al-Farabi untuk melakukan perujukan bukanlah satu-satunya motivasi di balik teori ini. Pada abad ke-3 dan 4 H/ke-9 dan 10 M terjadi gelombang besar skeptisme yang menolak ramalan kenabian. Para juru bicara mereka menyatakan beberapa alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada kenabian. Yang berada di puncak skeptisme itu ialah ibn al-Rawandi yang pernah menjadi pengikut Mu’tazilah, tetapi kemudian menolak ajaran mereka, dan Muhammad bin zakaria al-Razi. AL-Razi terutama menolak setiap upaya merujukan agama dan filsafat, dengan anggapan bahwa filsafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi dan masyarakat, sedangkan agama adalah sumber konflik dan perselisihan. Serangan ini membuat seluruh pusat-pusat keislaman memeprtahankan dogma-dogma mereka, al-Farabi merasa perlu ikut membantu dengan menerangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah.15
15 Filosof Muslim, Diterjemahkaan dari Buku Tiga, Baagian Tiga, “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philosophy, suntingan M.M. Syarif, M.A., Otto Horrassowitz, Weisbaden, 1963. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Anggota IKAPI, hal. 73-77
12
Al-Farabi merupakan orang yang pertama membahas teori kenabian dengan lengkap. Teori kenabian al-Farabi merupakan bagian terpenting dalam filsafat yang didasarkan atas dasar psikologi, metafisika dan erat hubungannya dengan lapangan akhlak dan politik.16
4. Roh
Al-Farabi dalam teorinya tentang roh terpengaruh oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Sebagai Plotinus ia juga menganut faham emanasi. Al-Farabi terkenal dengan filsafatnya tentang Akal yang sepuluh.
Roh manusia timbul sebagai pancaran dari Yang Maha Satu. Sama dengan Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa roh manusia mempunyai daya-daya, makan (al-Ghaziah – الغارية ), memelihara (sl-Murabbiah – المربية ), dan berkembang (al-muwallidah –المىلّذة ), tersimpul dalam daya gerak (al-muharrikah – )المحركة . Selanjutnya daya menangkap dengan panca indera (al-hassah الحسّة- )dan imajinasi (al-mutakhayyilah – المتخيلة ), yang tersimpul pula dalam daya mengetahui (al-mudrikah –
المذركة ). Lebih lanjut lagi terdapat pula daya akal praktis (al-„aql al-amali – العقل
العملي ) yang menunjukkan perhatian ke bawah, yaitu alam materi dan akal teoritis (al-„aql al-nazari – القل النظري ) yang menunjukkan perhatian ke atas yaitu alam spiritual. Akal praktis dan teoritis merupakan dua bagian dari daya berpikir (al-natiqah – الناطقة ).
Akal teoritis mempunyai tiga tingkatan, material (al-hayulani – الهيىلاني ), aktual (bi al-fi‟l – بالفعل ), dan perolehan (al-mustafad – المستفاد ). Akal materi mempunyai potensi untuk berpikir secara abstrak, yaitu dengan melepaskan mahiah dan materinya. Kalau akal material ini telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak yang lepas dari materinya, ia meningkat menjadi akal aktual. Dan kalau akal aktual ini telah sanggup berpikir tentang hal-hal yang murni abstrak, yang tak pernah ada dalam materi, seperti malaikat dan Tuhan, maka ia meningkat menjadi akal perolehan. Akal perolehan inilah yang sanggup menangkap cahaya ilmu penetahuan yang dipancarkan Akal Aktif (al-„aql al-fa‟aal – العقل الفعال ). Akal Aktif ini disebut
16 Drs. H. Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1989), hal. 93
13
juga roh setia (al-ruh al-amiin – نيملأا حورلا) dan roh suci (al-ruh al-qudus – الروح
)القذوس .
Roh yang telah mempunyai daya perolehan inilah, menurut al-Farabi yang akan kekal. adapun jiwa yang masih ada tingkat material, itu akan hancur dengan hancurnya badan.17
5. Pemikiran Sosial dan Politik
Al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Dalam filsafat politik kenegaraan ini Al-Farabi memulai pengkajiannya dari pengkajian tentang asal mula tumbuhnya negara, tujuan Negara, negara yang utama, dan kriteria pemimpin negara dalam corak pemikirannya. a. Asal Mula Tumbuhnya Negara Seperti hal-nya Plato, Aristotelles dan Ibn Abi Rabi’, al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini karena manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dari pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang memberikan kebahagiaan kepada manusia, tidak hanya dalam bentuk materiil tapi juga spiritual, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.18 Menurut Al-Farabi masyarakat dibagi menjadi dua. Pertama, masyarakat yang sempurna. Kedua, masyarakat yang tidak atau belum sempurna. Masyarakat
17 Prof. Dr. Harun nasution, Falsafat Agama, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989), Cet. Ke-7, hal. 82 18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta; UI Press, 1995, hal 50, Cet. Ke-7
14 yang sempurna selanjutnya diklasifikasikan menjadi: 1. Masyarakat besar, yaitu gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa). 2. Masyarakat sedang, yaitu masyarakat yang terdiri atas sebagian bangsa atau suatu teritorial. 3. Masyarakat keci, yaitu masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota). Adapun yang dikategorikan dengan masyarakat yang tidak atau belum sempurna adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung dan keluarga. Perkembangan dari tidak sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat. Awalnya dari masyarakat manusia yang tersebar, menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke masyarakat kota yang sempurna berpemerintahan.19 b. Tujuan Negara Demikian pula halnya tentang asal mula tumbuhnya Negara. Menurut Al-Farabi, tujuan Negara sama dengan tujan bermasyarakat, yaitu tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, baik materiil maupun spiritual, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat.20 1. Negara yang Utama Al-Farabi menyatakan bahwa bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama, laksana anggota badan. Apabila salah satunya menderita sakit, maka anggota-anggota lainnya akan ikut merasakannya pula. Setiap anggota badan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat kepentingan yang tidak sama. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini dipimpin oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hati atau akal. Hati merupakan salah satu
19 Poerwantana, dkk Seluk-beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosda, 1988, hal. 138 20 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002, hal. 60
15 anggota badan yang paling baik dan sempurna.21 Menurut Al-Farabi, negara yang utama ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan alam kecil (mikrokosmos). Di dalam negara yang terpenting adalah kepala negara. Dimisalkannya dengan hati, yaitu yang terpenting di dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga negara (kota). Kalau kesehatan manusia bergantung pada perkembangan dan hubungan yang teratur di antara unsur-unsurnya satu sama lain, maka negara yang buruk atau sesat adalah seperti seorang yang sakit. (abnormal).22 Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama antara satu sama lain. Terdapat seorang kepala dan warga yang derajatnya mendekati kepala, yang maing-masing memiliki keahlian untuk menjalankan tugas masing-masing yang mendukung kebijakan kepala. Di bawahnya lagi terdapat sekelompok warga yang bertugas membantu kelas yang ada di atasnya dan seterusnya. Atas dasar demikian, apabila dalam sebuah negara, para anggota masing-masing kelas menjalankan tugasnya tanpa mencampuri tugas-tugas yang lain, negara ini dapat dipandang sebagai negara yang utama.23 Pada lingkupnya yang lebih khusus tentang kota ini, Al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai
21 Iqbal Muhammad dkk, Pemikiran Politik Islam. Jakarta; Kencana, 2013, hal. 11
22 Poerwantana, op-cit. hal 139 23 Yamani, op-cit, hal. 55
16 pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan.24 Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan. Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik. Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu.25 Menurut Al-Farabi kepala Negara Utama itu haruslah seorang filsuf yang mendapatkan kearifan melalui pikiran dan rasio ataupun melalui wahyu. Ia haruslah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan memiliki dua belas sifat atau syarat, yang sebagian telah ada pada pemimpin itu sejak lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitrah. Tetapi, sebagian lainnya masih perlu ditumbuhkan melalui pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Oleh karenanya, pembinaan dan pembentukan pribadi pemimpin sangat diperlukan. 24 Ibid, hal 60 25Munawir Sjadzali, Op.-cit.,, hal 183, Cet. Ke-7
17 Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara, antara lain: 1. Lengkap anggota badannya 2. Baik daya pemahamannya 3. Tinggi intelektualitasnya dan kuat daya ingatnya 4. Cerdik dan pintar 5. Pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya 6. Cinta kepada ilmu pengetahuan 7. Tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani 8. Cinta kejujuran dan benci kebohongan 9. Berjiwa besar dan berbudi luhur 10. Cinta keadilan dan benci kezaliman 11. Kuat pendirian 12. Tidak terikat dengan materi dan uang 2. Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah) Di samping negara utama yang dikemukakan al-Farabi di atas terdapat pula empat macam negara yang rusak, yang bertentangan dengan negara utama, yaitu : a. Negara bodoh (al-Madinah al-Jahiliah) b. Negara fasik (al-Madinah al-Fasiqah) c. Negara sesat (al-Madinah al-Dhallah) d. Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah)26
26 Iqbal Muhammad dkk, 0p-cit., hal. 13-15
18 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Nama lengkap Al-Farabi adalah bu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farb. Tempat ia dilahirkan.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Adapu pemikiran Filsafat Al-Farabi ialah tentang: Ketuhanan, emanasi, Kenabian,Kenegaraan, akal, Jiwa atau ruh.
19 DAFTAR PUSTAKA
Filosof Muslim, Diterjemahkaan dari Buku Tiga, Baagian Tiga, “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philosophy, suntingan M.M. Syarif, M.A., Otto Horrassowitz, Weisbaden, 1963. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1990)
Mansur Kahar, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989)
Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010)
Nasution Harun, Filsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), Cet. Ke-7
Poerwantana, dkk Seluk-beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosda, 1988 Sjadzali Munawir, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta; UI Press, 1995, Cet. Ke-7
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Syarif M.M, Terjemahan dari “The Philosophers”, (Bandung: Mizan, 1994) Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
Zar Sirajuddin, FILSAFAT ISLAM, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah kerajaan Demak

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai dari para bangsa Arab, Cina, dan Persia yang ...